17

157 35 0
                                    

***

Jiyong tidak berkomentar saat Lisa menceritakan apa yang terjadi malam ini. Mereka berkendara menuju makam orangtua gadis itu, dan Jiyong yang mengemudi. Supir yang biasanya menyetir untuk pria itu tidak terlihat dimana pun pagi ini. Lisa bisa leluasa meluapkan emosinya, sebab hanya ada Jiyong yang mendengarkannya di sana.

"Kau hanya perempuan bodoh yang dibawa pulang ayahku!" seru Lisa, mengulang lagi apa yang Leo katakan padanya. "Bisa-bisanya bajingan sialan itu bilang begitu padaku?! Setelah semua yang aku lakukan padanya?! Sudah berapa kali aku menyelamatkannya dari omelanmu?! Aku bahkan merahasiakan uang bimbel yang dia pakai menggoda perempuan!" omelnya, berteriak marah di sebelah Jiyong.

"Dia dipukuli di depanku! Lalu apa yang dia harapankan dariku?! Dia ingin aku pura-pura tidak tahu?! Pergi saja membiarkannya diinjak-injak begitu?!" kesalnya, belum selesai. Ia terus marah, sebab Jiyong yang mengemudi, sebab pria itu membiarkannya marah. "Oppa! Kenapa kau diam saja?! Kau mendengarku kan?! Anakmu dipukuli orang!" seru Lisa, setelah ia kehabisan omelan lainnya. Setelah ia jadi semakin kesal karena Jiyong tidak mengatakan apapun.

"Kepalaku sakit," balas Jiyong, tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Kenapa? Karena anakmu dipukuli?" pelan Lisa, sebab Jiyong mengisyaratkan kalau suara omelannya sudah menyakiti kepala pria itu.

"Aku baru minum sebotol vokda," jawabnya, tetap menyetir meski sekarang gadis di sebelahnya mengernyit. Dahi Lisa berkerut, dan alisnya bertautan.

Lisa minta Jiyong untuk menepikan mobil mereka sekarang. Jiyong sempat menolaknya tapi karena gadis itu bersikeras, ia turuti keinginannya. Begitu mobil berhenti, Lisa melompat keluar dari mobil. Digerakan kakinya, cepat-cepat ke pintu sebrang. Lantas ia minta Jiyong untuk bertukar kursi.

"Bisa-bisanya oppa bisa menyetir sambil mabuk?! Kalau kita mati bagaimana?! Aku belum menikah, aku tidak bisa menemui ibuku kalau belum menikah!" protes gadis itu, akhirnya mengemudi.

"Karena itu aku tidak pulang, karena mabuk," balas Jiyong, yang sebelumnya tidur di club-nya karena terlalu mabuk untuk menyetir. "Kau yang memaksaku menyetir," susulnya.

"Mana aku tahu kalau kau mabuk?!"

"Kau tidak bisa mencium baunya?" balas Jiyong, sekarang mencium lengan bajunya sendiri. Ia merasa kalau ada aroma alkohol di tubuhnya, tapi karena Lisa tidak bisa menciumnya, ia yakin baunya tidak lah seberapa kuat. "Jadi, kau tahu siapa yang memukulinya?" tanya Jiyong kemudian.

Lisa menggeleng. Ia tidak tahu siapa yang memukuli Leo, situasinya terlalu gelap tadi. Ia tidak bisa mengenali wajah orang-orang itu. Mereka melarikan diri begitu Lisa berlari menghampiri Leo, bersama Jennie. "Mereka tidak memakai seragam, mungkin bukan anak sekolah. Musuhmu?" tebak Lisa, lepas ia berusaha mengingat-ingat kejadian tadi.

"Kalau musuhku, mereka tidak akan berhenti hanya dengan memukuli Leo. Meski kau dan Jennie datang dengan polisi, mereka tidak akan berhenti," tenang Jiyong. "Akan aku caritahu siapa yang memukulinya. Tapi, omong-omong, kau bisa berkelahi kan?" tanyanya kemudian, tiba-tiba merasa khawatir kalau musuhnya mengganggu Lisa. Atau kalau gadis itu terancam dipukuli juga, seperti Leo.

"Ayah dan ibuku mengajariku bela diri," jawab Lisa, ingat bagaimana seriusnya Teo saat mengajarinya berkelahi, memakai senjata juga. Sebab saat itu di Los Angeles banyak terjadi kasus penembakan di sekolah. Lisa pun pernah jadi salah satu korbannya— meski saat itu ia tidak terluka, hanya kehilangan beberapa teman sekelasnya. "Oppa tidak mengajarinya?" tanya Lisa kemudian.

"Dia kelihatan atletis, aku pikir dia bisa berkelahi, setidaknya cukup kuat untuk membela dirinya sendiri," kata pria itu, justru membuat Lisa berdecak.

Meski Leo kelihatan atletis— dan bocah itu memang atletis sebab ia aktif bermain basket dan sepak bola di sekolahnya. Namun Jiyong tidak pernah menduga kalau putranya akan dipukuli orang. Jiyong tidak pernah mengira kalau Leo akan meringkuk di bawah kaki orang-orang yang menginjaknya. Jadi orangtua tidak lah mudah baginya, padahal Jiyong pikir semuanya akan jauh lebih mudah sebab Leo datang padanya ketika bocah itu sudah cukup besar.

"Meskipun dia kelihatan sudah besar, dia tetap anak-anak, oppa harus lebih memperhatikannya," pelan Lisa, hampir berbisik karena tidak ingin menyinggung perasaan Jiyong.

"Kau tahu kalau dia hanya anak-anak, kenapa marah karena ucapannya?" balas Jiyong. "Kau tahu dia tidak serius dengan ucapannya tadi," susulnya kemudian.

"Meskipun dia tidak serius, aku tetap sakit hati mendengarnya," ketus Lisa. "Aku akan memaafkannya, tapi tidak sekarang. Aku masih marah sekarang," katanya, tetap kesal.

Mereka tiba di pemakaman. Lisa memarkir mobilnya, lalu setelah selesai keduanya melangkah turun. Berdampingan mereka berjalan ke makam orangtua Lisa. Tidak ada banyak obrolan di sana, dan begitu tiba, Lisa bergantian memeluk nisan orangtuanya.

Tanpa bersuara, hanya dengan suara dari dalam hati masing-masing, mereka bicara. Mereka sapa Teo dan Hani yang terbaring dalam makam itu. Mereka luapkan juga kerinduan masing-masing dengan menatap kedua makamnya, berdiri seolah tengah mendoakan penghuni makam-makam itu.

Begitu selesai menyapa, setelah hampir lima belas menit, Lisa yang lebih dulu duduk. Bersandar ke makam ayahnya, sambil memandangi makam ibunya, Lisa duduk di sana. Ia peluk lututnya sendiri, sementara Jiyong masih berdiri beberapa langkah di dekatnya.

Sesekali Jiyong menarik rambutnya ke belakang. Menyingkirkan beberapa helai yang mengganggu matanya. Pria itu juga menarik dan menghela nafasnya. Lalu ia langkahkan kakinya, hanya beberapa langkah untuk melihat sekelilingnya. Berdiri angkuh di atas bukit seolah dirinya lah pemimpin yang berkuasa di sana.

"Oppa," panggil Lisa, karena Jiyong terus fokus pada hal lain selain dirinya.

Pria itu menggumam untuk menanggapinya. Ia gerakan juga kepalanya, menoleh untuk melihat Lisa di tanah.

"Bagaimana kalau Leo dirundung karenamu?" tanya Lisa kemudian, tapi baik dirinya maupun Jiyong, tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Tidak ada jawaban, tidak juga ada komentar. "Saat aku dirundung, karena ayahku pembunuh, karena ibuku rentenir, aku minta mereka untuk membawaku pergi dari sini. Bagaimana kalau Leo juga dirundung tapi dia memilih untuk tidak melakukan apapun?" susul Lisa, mengkhawatirkan bocah yang bukan anaknya.

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang