***
Dengan berjalan kaki, Lisa memaksa Leo untuk pergi meninggalkan rumahnya. Gadis itu masih tetap menggandeng keponakannya, terus berjalan meski Leo memintanya berhenti. Terus menarik meski Leo membuat langkahnya jadi terasa semakin berat. Keduanya terus melangkah, tanpa seorang pun yang mengekor— Jiyong tidak bergerak untuk mengejar Lisa. Sengaja, sebab pria itu ingin memberinya sedikit waktu untuk berfikir, untuk mencerna apa yang dulu terjadi.
"Aku tidak mengerti," kata Leo, setelah akhirnya Lisa melepaskan tangannya. Mereka duduk di minimarket sekarang, Leo yang merengek, mengatakan kalau ia lapar karena belum sempat menghabiskan makanan yang tadi Lisa bawa.
Sambil membuka bungkus onigirinya, anak laki-laki itu memperhatikan Lisa yang hanya diam. "Ayah dan ibumu bukan mantan gangster, iya kan?" susulnya, masih penasaran. "Saat kau bilang orangtuamu berhenti jadi gangster dan pindah ke LA, aku berharap ayahku juga akan melakukan hal yang sama," katanya sekali lagi.
"Aku pikir mereka mantan gangster, aku pikir mereka sudah berhenti," angguk Lisa. "Tapi ternyata mereka, termasuk ayahmu, mereka membohongiku," katanya. "Jangan berharap ayahmu akan berhenti, dia hanya akan membohongimu, lalu tetap bekerja diam-diam. Di belakangmu. Mereka tidak akan berhenti, apapun alasannya."
"Pesimis tidak cocok untukmu," komentar Leo. "Tapi... Ayahku belum menyelesaikan ceritanya. Perjanjiannya batal, karena dia menghina keluargamu. Lalu dia membunuh ayah dan ibumu, kenapa? Bagaimana? Dan apa yang akan ayahku lakukan sekarang? Aku tebak tidak ada, dia bahkan diam saja saat tahu putranya dipukuli. Kau marah karena ayahku diam saja? Padahal dia selalu bilang kalau kau adiknya? Heish... Laki-laki memang tidak bisa dipercaya, bagaimana bisa kau tertipu olehnya? Tsk," katanya kemudian.
"Kau juga laki-laki," pelan Lisa, setelah ia hela nafasnya. Tidak lagi tahu, bagaimana ia harus mempercayai Jiyong sekarang.
Leo sempat membisu. "Kecuali aku," katanya kemudian, setelah ia menyerah mencari respon lainnya. Lantas, sebelum Lisa punya kesempatan untuk mematahkan kepercayaan dirinya, Leo mengulangi lagi pertanyaannya— ia tidak bisa memahami cerita Jiyong tadi, juga alasan Lisa membawanya pergi sekarang. Sudah pernah ia lihat bagaimana Lisa ketika kehilangan kedua orangtuanya, tangis kehancurannya, amarahnya yang meledak, kesedihan yang tidak ada habisnya, tapi hari ini tidak bisa ia gambarkan bagaimana ekspresi gadis itu sekarang.
"Kalau dari cerita ayahmu, orangtuaku ingin menjadi sponsornya. Mereka sudah bersepakat, tapi ibuku membatalkan semuanya," kata Lisa, menjawab Leo sekaligus meluruskan isi kepalanya sendiri. "Orangtuaku mencari calon lain yang bisa mereka sponsori, lalu mungkin karena itu, dia marah lalu membunuh orangtuaku. Tapi orangtuaku belum menemukan calon lainnya, jadi ada bagian yang kurang dari cerita ayahmu. Dia harusnya membujuk orangtuaku, agar mereka tetap mensponsorinya. Tapi dia justru membunuh orangtuaku, berarti ada hal lainnya di sana, sesuatu yang ayahmu sembunyikan."
"Apa yang ayahku sembunyikan?"
"Aku tidak tahu," geleng Lisa. Ia pun bangkit dari duduknya.
Gadis itu menatap pada Leo yang masih makan sekarang. Sesekali anak itu menggumam, penasaran dengan rahasia yang ayahnya sembunyikan. Kemudian, tidak berselang lama Lisa kembali bicara. Ia berpamitan sekarang, mengatakan kalau dirinya akan pulang ke rumah. Mengatakan juga pada Leo untuk tidak mengunjunginya. Berpesan agar Jiyong pun tidak datang ke rumahnya.
"Katakan pada ayahmu untuk tidak melakukan apapun rencananya sekarang. Minta dia menunggu sampai aku menghubunginya, secepatnya," pesan Lisa, yang setelahnya bergegas pergi, meninggalkan Leo sendirian di sana.
Leo sempat berseru, menyuruh Lisa untuk kembali duduk, untuk menemaninya menghabiskan semua makanan yang sudah terlanjur dibelinya. Tapi sayang, Lisa terus berjalan, enggan untuk menunggu. Tanpa menoleh lagi, gadis itu pergi ke rumahnya. Terus melangkah masuk, melewati Rose juga Jaehyun di teras, melewati Jennie di dapur, dan bergegas pergi ke kamarnya tanpa mengatakan apapun.
Di kamarnya, gadis itu hanya duduk. Diam di ranjangnya, mencoba untuk mencari-cari alasan kenapa sang calon walikota membunuh orangtuanya. Terus ia karang cerita-cerita pengkhianatan dalam kepalanya. Terus ia cari-cari alasan kenapa orangtuanya berada dalam kecelakaan itu.
Mungkin ayah dan ibunya balas menyinggung perasaan sang calon walikota? Mungkin mereka terlibat perkelahian lalu orangtuanya meninggal dan kejadian itu mereka samarkan dengan kecelakaan? Mungkin Jiyong berbohong tentang alasan sebenarnya orangtuanya meninggal malam itu? Mungkin Jiyong mengarang semua ceritanya hari ini?
Terus ia pikirkan kemungkinan-kemungkinannya. Terus ia bayangkan bagaimana kecelakaan malam itu terjadi. Sampai pada beberapa jam setelahnya, Jiyong mengiriminya sebuah pesan— aku akan menjemputmu kalau kau mau ikut menemuinya— begitu pesannya.
Lisa tidak ingat berapa lama ia duduk sendirian di kamarnya. Ia membaca pesan Jiyong, lantas bangkit setelah menimbang-nimbang. Ketika tiba di luar, hari sudah berubah gelap. Lampu terasnya sudah dinyalakan, Rose dan Jaehyun tidak lagi ada di sana. Malam sudah datang sementara Lisa tidak menyadarinya.
Di balik gerbang rumahnya, Jiyong sudah menunggu. Tanpa menunggu pria itu turun dari mobilnya, Lisa sudah lebih dulu melangkah masuk ke dalam mobil itu. Ia duduk di belakang, bersama dengan Jiyong sementara ada seorang pria lain di depannya.
"Apa rencanamu?" tanya Lisa, setelah ditutupnya pintu mobil itu.
"Balas dendam."
"Bagaimana?"
"Bagaimana menurutmu?" ulang Jiyong, sementara mobil kembali bergerak. Melaju meninggalkan rumah gadis itu.
"Kau akan merusak kampanyenya?" tanya Lisa, dan kali ini mereka sama-sama menoleh. Beradu tatap dengan alis Jiyong yang sebelah dinaikan. Orang itu sudah membunuh Teo dan Hani, membiarkannya tetap hidup tidak pernah ada dalam rencana Jiyong. "Membunuhnya?" tanyanya sekali lagi, tidak benar-benar yakin kalau Jiyong boleh melakukannya.
Dilema menyerang ketika Jiyong tidak menjawab pertanyaannya. Diam pun bisa jadi sebuah jawaban, dan sekarang Lisa yakin kalau jawaban atas pertanyaannya adalah— iya. Ia yakin kalau Jiyong berencana membunuh si calon walikota, sama seperti bagaimana pria itu menyingkirkan musuh-musuhnya. Sama seperti bagaimana Jiyong mempertahankan posisinya— membunuh semua yang menghalanginya.
"Aku ingin dengar alasannya melukai orangtuaku," kata Lisa, masih tidak bisa memutuskan bagaimana ia harusnya bersikap— membiarkan Jiyong membunuh orang itu, atau melarangnya melakukan itu.
Ia tidak ingin jadi seperti orangtuanya. Ia tidak ingin jadi seperti Jiyong. Ia tidak ingin terlibat dalam kejahatan apapun. Sudah ia tutup matanya selama ini, berlaga tidak tahu, enggan terlibat dengan semua kejahatan yang sudah Jiyong lakukan. Aku hanya akan menemani Leo, aku hanya akan jadi bibi untuk Leo— begitu rencananya. Hanya untuk anak laki-laki yang senasib dengannya. Hanya untuk memastikan Leo tidak akan hidup seperti ayahnya. Hanya untuk melindungi Leo agar tidak perlu jadi gangster seperti orangtua mereka.
Tapi sekarang, Lisa kebingungan. Kalau terus berada dalam mobil itu, ia akan masuk ke dalam kubangan. Tapi jika ia melompat turun, ia merasa akan tenggelam dalam rasa bersalah. Bagaimana bisa ia membiarkan pembunuh orangtuanya hidup nyaman jadi walikota?
"Aku ingin bertemu lebih dulu dengannya, bisa kau tunda dulu rencana balas dendammu?" tanya Lisa, gagal membuat keputusannya. Meyakinkan dirinya, kalau ia boleh bertanya lebih dulu. Ia boleh melihat situasinya lebih dulu. Ia berhak membuat keputusannya nanti. Ia tidak harus melarang Jiyong membunuh orang itu sekarang.
"Setelah bertemu dengannya, kau akan membiarkanku melakukan apapun?" tanya Jiyong, belum menyetujui permintaan Lisa. "Tidak ada emosi seperti sekarang, tidak akan marah, tidak akan menangis, kau tidak akan menggangu keputusanku, tidak akan menyuruhku berhenti, tidak akan mengancamku dengan Leo atau dirimu sendiri. Kalau aku membiarkanmu ikut menemuinya, kau akan diam saja, menutup matamu dan melupakan semuanya, lalu tetap hidup seperti kemarin?"
Lisa menggeleng. Tidak bisa mengiyakan semua permintaan Jiyong. Pria itu akan membunuh seorang pria, dan Lisa mengetahuinya. Ia akan merasa telah membunuh seseorang juga kalau diam saja. "Biarkan aku memutuskan setelah bertemu dengannya," pinta gadis itu. "Kalau aku membiarkanmu membunuhnya, aku juga akan jadi pembunuh sepertimu. Tolong... Aku tidak mau jadi pembunuh," katanya, hampir menangis.
***