***
Leo berkunjung setelah beberapa hari ini ia sibuk dengan urusannya sendiri. Begitu datang, Jennie langsung menanyainya, "ayahmu Kwon Jiyong?" tanya gadis itu dan Leo mengangguk, sempat menoleh juga pada Lisa, keheranan dengan pertanyaan yang mendadak itu. Pagi ini, anak itu datang dengan setumpuk kertas di tangannya. Sepintas, Jennie melihat formulir pendaftaran akademi di sana. Sementara Lisa belum tertarik untuk bertanya, gadis itu masih menyiapkan sereal untuk Jennie. Sekarang, Lisa juga perlu menyiapkan semangkuk lainnya untuk Leo.
Rose keluar dari kamarnya setelah Jennie juga Leo duduk di meja makan. Lisa baru saja menarik kursinya sendiri, akan duduk setelan ia temukan sekotak sereal tambahan— yang belum dibuka. "Kau mau sarapan juga?" tawar Lisa, menggoyang-goyangkan kotak sereal utuhnya, sedang Rose sudah membawa semua barang-barangnya keluar. Akan segera pergi untuk bekerja.
"Tidak, Jaehyun sudah menunggu diluar," tolak Rose, lalu bergegas meninggalkan rumah.
Mereka sarapan, lalu begitu mangkuk serealnya sama-sama habis, Jennie pergi ke kamarnya. "Tinggalkan saja mangkuknya, nanti aku cuci," kata gadis itu, setelah ia mengeluh kelelahan hanya karena makan semangkuk sereal. Lisa bergumam untuk mengiyakannya, ia tinggalkan mangkuk-mangkuk mereka di bak cuci piring, lalu baru setelahnya gadis itu bertanya berkas-berkas apa yang Leo bawa pagi ini.
"Kenapa kau ke sini?" tanyanya kemudian.
"Bisa kita bicara ditempat lain?" kata Leo balas bertanya, ia melirik ke tangga rumah itu memberi tanda agar Lisa mengajaknya masuk ke kamar. Tempat yang lebih tertutup untuk membicarakan alasannya datang.
Lisa menghela nafasnya, berharap Leo tidak akan membawakan masalah untuknya. Begitu tiba di kamarnya, gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Dengan kakinya, ia suruh Leo untuk duduk di sofa dekat jendela, tapi bocah itu tidak menurutinya. Leo mendesak untuk ikut duduk di ranjang, menggeser tubuh Lisa yang baru saja berbaring di sana, menunjukan kertas-kertas yang dibawanya.
"Aku menemukan nenekku, maksudnya ibunya ayahku," kata laki-laki itu, menunjukan selembar foto yang dibawanya.
Sekarang Lisa terdiam. Ia bergerak duduk, sambil dilihatnya foto yang Leo tunjukkan. Nafasnya tercekat, foto yang Leo bawakan terlihat persis seperti wanita yang ia ingat. Ia pandangi foto itu, lalu setelahnya ia perhatikan raut bangga di wajah Leo. "Aku berbakat menemukan sesuatu, iya kan?" pamer anak itu, sementara Lisa masih memproses semua ingatan yang tiba-tiba muncul.
"Kau... Dimana kau menemukan foto ini?" tanya Lisa, hampir tidak bisa berekspresi karena terikat akan kilas balik ingatannya.
"Aku memotretnya sendiri, masih ada beberapa foto lainnya, mau lihat?" tawar anak itu, segera meraih handphonenya. Ingin menunjukan hasil pencariannya. Ingin membual bagaimana caranya ia menemukan wanita itu.
"Ayahmu tahu kau- apa kau memberitahu ayahmu tentang ini?" Sekarang Lisa mengkhawatirkan Jiyong. Alih-alih tetap terkejut karena pencarian Leo, Lisa justru khawatir Jiyong akan terluka karena pencarian itu. Karena terluka, pria itu mungkin akan memarahi putranya, bisa juga memukul Leo kalau ia tidak mampu menahan emosinya.
Ditanya begitu, Leo menghela nafasnya. Kepala anak itu menggeleng sekarang. Leo melakukannya diam-diam, tanpa sepengetahuan Jiyong. Awalnya, ia berencana memberitahu Jiyong. Diawal rencananya, ia ingin mempertemukan Jiyong kembali dengan ibunya. Mendamaikan keduanya, maka ia bisa menyenangkan ayahnya.
"Dia sudah berkeluarga," kata Leo, menjelaskan alasannya belum memberitahu Jiyong akan penemuannya itu. "Dia punya tiga anak, semuanya laki-laki. Anak pertamanya guru sekolah dasar, anak keduanya polisi, yang terakhir masih kuliah. Saat aku mendatanginya, dia sedang makan malam dengan anaknya yang polisi. Mereka kelihatan akur sekali, dia mengusap rambut polisi itu, dia mengambilkan air untuknya, dia memanggang daging untuknya, dia bahkan menyuapinya, mereka kelihatan bahagia. Dia kelihatan bangga sekali pada anaknya itu. Dia kelihatan baik sekali, tapi... Kalau dia benar-benar baik, kenapa dia meninggalkan ayahku? Aku kesal melihat mereka, jadi aku pergi," cerita Leo.
Lisa meletakan foto juga beberapa kertas yang Leo bawa. Kini, ia condongkan tubuhnya ke depan, tangannya terbuka, merengkuh Leo ke dalam pelukannya. "Tidak apa-apa," pelan gadis itu, sembari mengusap-usap punggung Leo, menenangkannya. "Tidak apa-apa, tidak punya nenek. Kau dan ayahmu, kalian tidak membutuhkan wanita itu. Tidak apa-apa, tidak perlu memakai energimu untuk membencinya," tenang Lisa, sesekali mengusap rambut Leo.
"Kasihan ayahku," pelan Leo, kemudian ia hela nafasnya. Sebentar ia balas pelukan Lisa, lalu melepaskannya. Ditatapnya gadis itu, lalu ia beritahu bagaimana dirinya bisa menemukan wanita itu. "Awalnya aku hanya penasaran, apa ayahku mencari ibunya atau tidak. Jadi aku mencari di kamarnya saat dia bekerja, ternyata ada. Ayahku mencari ibunya, kasihan, dia pasti kesal melihat ibunya punya keluarga baru."
"Jangan memberitahunya tentang ini," jawab Lisa memberi peringatan.
"Hm... Aku tidak akan memberitahunya, untuk apa aku memberitahunya? Kalau ibu yang meninggalkannya sekarang bahagia dengan keluarganya sendiri? Wanita itu bahkan tidak ingin bertemu dengan ayahku," angguk Leo, tenang tapi membuat dahi Lisa langsung berkerut.
"Kau bicara dengannya? Wanita itu?" tanya Lisa, dengan wajah menyelidiknya.
Leo mengangguk. Mengatakan kalau ia tahu pekerjaan ketiga anak wanita itu karena bertanya langsung padanya. Berlaga jadi orang asing yang tidak sengaja berpapasan di jalan, berbincang kemudian mengorek-ngorek informasi. Mendengarnya, Lisa menarik nafasnya dalam-dalam. Ia harus menahan emosinya.
"Kau memberitahunya bagaimana ayahmu hidup sekarang?" tanya Lisa, berharap Leo tidak akan mengecewakannya.
"Sedikit-"
"Ya! Leo!" potong Lisa, kehilangan harapannya. "Kenapa kau usil sekali?! Bagaimana kalau dia menemui ayahmu?! Bagaimana kalau ayahmu tahu dan dia marah karena kau melakukannya?!" sebal gadis itu, tidak percaya dengan apa yang baru saja Leo lakukan.
Leo berdecak, lantas ia katakan kalau dirinya tidak terang-terangan membicarakan ayahnya. "Aku hanya bilang, kalau ayahku ditinggalkan ibunya. Saat kecil ayahku ditelantarkan ibunya, tapi sekarang dia punya rumah di Bellis Hills, dia punya beberapa mobil, bisnisnya lancar, uangnya banyak, dia jadi sukses setelah ditinggalkan ibunya— aku hanya pamer begitu, karena dia terus membanggakan putranya," aku Leo setelah dimarahi.
"Augh! Pokoknya jangan melakukan hal-hal begini lagi, ayahmu tidak akan menyukainya," kesal Lisa, khawatir Jiyong akan mengetahuinya kemudian marah besar pada putranya. Khawatir hubungan Jiyong dan putranya akan jadi semakin renggang karena keputusan Leo sekarang. "Buang semuanya, jangan sampai ayahmu tahu kau mencari wanita itu," susul Lisa, yang sekarang mengulurkan berkas-berkas di antara mereka, menyuruh Leo untuk membuang semuanya.
"Yang ini formulir pendaftaranku," kata Leo, terang-terangan menunjukan kekecewaannya. Ia tetap ingin dipuji karena berhasil menemukan neneknya, meski akhir penemuannya tidak lah menyenangkan. "Aku merasa punya bakat menemukan seseorang, aku ingin mendaftar ke akademi kepolisian. Tidak kuliah, aku ingin jadi polisi," susulnya, sekali lagi sukses mengejutkan Lisa.
"Leo, aku menyayangimu," kata Lisa, akhirnya menanggapi keinginan bocah di depannya. "Sungguhan, aku benar-benar menyayangimu, kau sudah seperti keluarga bagiku. Tapi, maaf sekali, aku harus bertanya begini, apa kau sudah gila? Apa karena dipukuli kepalamu jadi bermasalah? Mau aku temani pergi ke rumah sakit? Pasti ada yang salah, kenapa pubertasmu belum selesai juga? Tidak, tunggu di sini, aku akan bertanya pada Jennie dulu. Mungkin otak remaja memang berbeda, mungkin kau tidak perlu operasi kepala, mungkin hanya perlu ikut terapi kepribadian, tidak apa-apa, kita akan mencari cara untuk menyembuhkanmu," ocehnya, kemudian bangkit, melangkah keluar dari kamarnya sembari memanggil-manggil Jennie yang sekarang sudah ada di dapur. Tengah mencuci mangkuk-mangkuk sereal seperti yang ia janjikan tadi.
***