***
"Kenapa aku juga harus ikut?" heran Teo, melihat pada dua orang di depannya.
Jiyong mengemudi, dengan sebelah tangan yang ia pakai untuk menyangga kepalanya. Sementara tangan lainnya sesekali memutar roda kemudi. Di sebelahnya, Lisa duduk dengan posisi yang sama, tanpa roda kemudinya. Gadis itu bahkan bisa memejamkan matanya, sebab tidak ada jalanan yang perlu ia perhatikan.
"Kemana kita akan pergi? Sampai kapan aku harus duduk di sebelah paman yang gantung diri ini?" susulnya, dan masih seperti sebelumnya, kali ini pun tidak ada yang menjawabnya. "Ayolah, ini bukan pertengkaran suami istri atau masalah keluarga kan? Kenapa kalian diam saja?" tanyanya, lagi, karena terus diabaikan.
"Diam, kepalaku sakit," ketus Lisa, tetap pada posisinya— menyangga kepalanya dengan tangan yang ia sandarkan ke pintu mobil, lalu memejamkan matanya, menunggu sampai mobilnya berhenti.
"Kalau begitu beritahu saja kemana kita akan-"
"Diam," potong Jiyong, nada bicaranya luar biasa tegas hingga Leo bersedia menutup mulutnya. Dalam situasi normal, Lisa pun akan berdebar-debar karena nada bicaranya itu. Jantungnya akan berdetak sangat cepat saking takutnya. Tapi kali ini gadis itu tidak merasakan apapun. Bahkan sebelum Jiyong menunjukan taringnya, jantungnya sudah berdebar luar biasa kuat karena menahan marah.
Selang beberapa menit, mobil berhenti di rumah Jiyong. Mereka masih menunggu gerbangnya terbuka, baru setelah Jiyong memarkir mobilnya Lisa dan Leo lebih dulu keluar dari sana. "Ada apa? Kenapa kalian bertengkar?" tanya Leo, mengekor pada Lisa yang sekarang pergi ke dapur. Tanpa mengatakan apapun, Lisa siram tenggorokannya dengan sebotol air mineral dingin. Menenggak habis minumnya, hanya dalam satu gerakan panjang.
Air minumnya habis bersamaan dengan masuknya Jiyong ke dapur yang sama. Pria itu meletakkan kunci mobil Lisa di atas meja, lalu menoleh pada Leo. Menyuruh Leo untuk naik ke kamarnya. "Jangan naik, duduk," tahan Lisa, menunjuk Leo lalu kursi di depan meja makan.
"Aku akan memberitahumu, semuanya, tidak perlu melibatkannya," balas Jiyong, ia menatap Lisa ketika bicara, tapi setelahnya ia alihkan pandangannya, menatap Leo lalu melirik ke arah tangga rumahnya. Sekali lagi menyuruh Leo untuk naik ke lantai dua.
"Tidak. Katakan semuanya di depan Leo juga," bantah Lisa. Sekali lagi berucap agar Leo segera duduk di meja makan.
"Augh! Ada apa dengan kalian?! Bertengkar saja sendiri, kenapa melibatkanku?!" protes anak laki-laki itu, namun tetap menuruti Lisa untuk duduk di meja makan.
Meski menggerutu, Leo pun penasaran alasan ayah dan bibinya bertengkar. Beberapa detik setelah Leo duduk, Lisa ikut duduk di sebelahnya. Kini, kedua orang itu menatap Jiyong yang masih berdiri. Menunggu pria itu duduk di seberang mereka agar pembicaraannya bisa segera di mulai.
Baik Jiyong maupun Leo, tidak satupun mengerti kenapa Lisa memaksa Leo untuk berada di sana. Mungkin Lisa ingin membuat Jiyong kesal. Mungkin Lisa ingin mencari sekutu untuk memusuhi Jiyong. Mungkin juga gadis itu ingin membalas Jiyong yang sudah lebih dulu membuatnya marah. Apapun akan Lisa lakukan untuk membuatnya marah, membuat ayahnya marah— anggap Jiyong, juga Leo.
Namun dalam dirinya, tidak ada sedikit pun keinginan Lisa untuk membuat Jiyong marah. Gadis itu marah, Lisa luar biasa marah sebab Jiyong punya sesuatu yang dirahasiakannya. Sedikit banyak, Lisa sudah tahu rahasia pria itu— kematian ayahnya— dan ia ingin mendengar detailnya. Tapi di saat yang sama, di saat ia luar biasa penasaran akan kenyataan yang menimpa keluarganya, gadis itu pun ketakutan.
Lisa berusaha sangat keras menahan rasa takutnya. Lisa berusaha sangat keras untuk menahan tubuhnya agar tidak gemetar ketakutan di sana. Kenyataan kalau ayah-ibunya berbohong saja sudah membuatnya luar biasa terluka, bagaimana ia bisa mengatasi kenyataan yang satu ini? Bagaimana kalau ia tidak akan bisa menerima berita mengerikan ini?