BEBAS

444 49 3
                                    

Maven mengunci pintu kamarnya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang memburu akibat berlari tadi. Bisa ia lihat jika keadaan kamarnya masih sangat berantakan. Lemarinya terbuka dengan pakaian yang berserakan di lantai. Bantal dan gulingnya pun tidak berada pada tempatnya.

Ia memunguti barang-barangnya yang berserakan di lantai lalu menempatkannya di tempat semula. Ia harus merapikan kamarnya agar ia bisa tidur dengan nyaman malam ini. Aktivitasnya terhenti saat ia melihat sebuah kotak hitam di bawah ranjangnya. Ia teringat akan sesuatu hal. Tangannya terulur untuk mengambil benda itu lalu dibukanya perlahan.

Maven menatap datar isi kotak itu tetapi anehnya tangannya malah bergetar. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Ia tidak bisa mengontrol emosinya waktu itu. Bodoh, ia ceroboh, tetapi ia sedikit merasa lega karena berhasil meyakinkan saudaranya jika pelakunya bukanlah salah satu dari mereka. Namun ia harus lebih berhati-hati, ia yakin jika Zayden mengetahui sesuatu. Apakah adiknya itu melihatnya? Tapi mengapa ia tidak mau mengaku? Maven yakin, pasti ada alasannya, tapi apa?

Di sisi lain Maven juga khawatir jika pemilik asli benda ini mengetahui bahwa barangnya telah ia curi, tapi Maven yakin pasti dia tidak akan sadar karena dia memiliki banyak benda seperti ini.

Maven terkekeh kecil. "Kesambet apa gue waktu itu sampai berani curi benda ini?"

~•000•~

Keenam putra Nathan terlihat tampan mengenakan seragam sekolahnya. Ya, Nathan telah membebaskan mereka, tetapi dengan satu syarat yaitu mereka harus tetap diantar jemput seperti biasanya. Hal itu membuat Juna mendengus sebal, rencananya untuk mengendarai motor ke sekolah gagal total. Padahal ia sudah lama menanti hari itu.

Lain halnya dengan Leo, ia terlihat sangat bahagia karena bisa kembali ke sekolah. Saking bahagianya, ia bahkan bangun lebih awal hari ini. Lalu berinisiatif untuk membangunkan keenam saudaranya agar tidak terlambat nantinya. Dia bahkan dengan sabar membangunkan Zayn, tidak seperti kemarin.

Sesampainya di sekolah, mereka diberi wejangan yang amat panjang kali lebar oleh Nathan. Mereka tidak boleh ini dan itu, membuat semuanya menghela nafas lelah. Heran dengan Nathan yang sangat cerewet. Mereka paham jika Papa mereka itu sedang khawatir, tapi ini terlalu berlebihan. Bahkan kemarin mereka sempat dikurung di rumah.

"Iya, Pa. Kami mengerti," sela Leo merasa jengah dengan ucapan Nathan yang tak kunjung selesai.

"Sudahlah, Pa. Kami tidak akan melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Papa tidak perlu khawatir," sahut Juna.

"Pa, jamnya udah mepet. Keburu bel ini!" ujar Zayn setelah melihat jam tangannya.

"Ya, sudah. Kalian masuk sana! Belajar yang rajin, patuhi ucapan Papa tadi. Pa--" belum sempat Nathan menyelesaikan ucapannya, keenam putranya sudah berlari masuk saat bel berbunyi. Nathan hanya tersenyum tipis kemudian memasuki mobilnya dan melaju menuju ke kantornya.

Leo berusaha mengatur nafasnya yang memburu akibat berlari. Tadinya Leo hanya berjalan santai saat sudah memasuki area sekolahnya. Namun ia tak sengaja melihat guru mapelnya sudah on the way menuju kelasnya. Mau tak mau Leo harus kembali berlari tapi kali ini lebih cepat karena ia harus sampai lebih dulu.

Ia mendudukkan diri di kursinya lalu beralih untuk mengeluarkan buku pelajarannya. "Gara-gara Papa, nih. Hampir aja telat masuk kelas, mana gurunya killer lagi," gerutu Leo merasa kesal.

Surya yang duduk di sebelahnya dibuat heran dengan gerak-gerik Leo. Ia pun bertanya, "Lo, kenapa?"

Merasa ada yang mengajak bicara, Leo pun menoleh. "Capek,"

LAKUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang