"Wajahmu langsung jadi pucat begitu." Cibir Zale terkekeh. "Aku bercanda, lagipula apa yang perlu kulihat darimu? Tubuhmu lebih tipis dari penutup peti mati, Cherry."
Apa katanya tadi? Cherry? Dipikirnya Elle itu buah atau apa, ha?
"Bersihkanlah semuanya, ada kain dan wadah air di kamar mandi." Ujar Zale memberitahu sembari membawa dirinya pada posisi lebih santai di sofa dengan punggung setengah merebah.
Elle mengernyitkan dahi, ia tak membalas apa-apa selain mengangguk dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil barang-barang yang Zale sebut.
"Selama bukan tai, aku tidak apa-apa. Yang terpenting adalah uang, uang, uang." Ucap Elle dalam hati sambil mengelus dadanya sendiri lalu keluar bersama wadah berisi air dan lap cokelat di dalamnya, siap untuk mengepel seluruh lantai yang penuh darah.
"Bukan tai." Elle menyakinkan dirinya sendiri sebelum mulai mengelap lantai dengan kain basah lalu membilas kain tersebut ke dalam wadah berisi air yang seketika berubah warna menjadi merah.
Kegiatan itu Elle lakukan berulang, hampir tiap lima menit ia bolak-balik ke kamar mandi untuk mengganti air dengan yang baru. Tak ada pelayan lain yang datang untuk membantunya, hanya ada Zale yang memperhatikan Elle tanpa satupun ekspresi di wajah.
"Dasar orang gila!" Pikir Elle dalam hati, mana berani ia langsung menyambar begitu dikenyataan.
Bahkan setelah tiga jam, lantai kamar masih berbau amis khas darah. Elle tidak kehabisan akal, dia menggunakan campuran wewangian yang ditemukannya di lemari kaca kecil dalam kamar mandi lalu mengelap seluruh lantai secara berulang lalu terakhir ia lap lagi dengan kain kering.
Barulah setelah itu aroma amis tak tercium lagi dari lantai, namun pekerjaan Elle belum berakhir saat ia melihat ke arah kasur dan itu... bahkan kata berantakan saja tidak cukup untuk mendeskripsikan keadaan bantal dan sprei berlumur warna merah diatasnya.
"Bukan... tai..." entah sudah berapa kali Elle berkata seperti itu pada dirinya sendiri di dalam hati, setiap pindah ke bagian yang lebih parah Elle selalu mengingatnya seperti saat ia mulai membongkar sprei dengan hati-hati lalu menemukan potongan jari.
Susah payah Elle meneguk salivanya sambil memandang ke arah setengah jari telunjuk yang saat ini dipegangnya.
"Menemukan sesuatu?"
Deg! -- jantung Elle terasa nyaris rontok ke perut saat tiba-tiba Zale muncul di belakangnya dengan dagu bertumpu pada bahu kanan Elle saat dia bertanya demikian.
"S-saya rasa..." Elle meneguk ludah, susah payah untuk melanjutkan kalimatnya. "Apa anda kehilangan jari telunjuk?"
"Ah, mari kita lihat," Zale berucap sambil menunjukkan jemarinya di hadapan Elle sehingga posisinya seolah pria itu sedang memeluk Elle dari belakang. "Coba hitung tanganku yang kanan dan kiri, apa ada telunjuk yang hilang?"
Samar-samar Elle menggeleng. Melihat respon takut gadis itu, Zale menyeringai dan meraih tangan kanan Elle sampai potongan jari yang gadis itu pegang terlempar sebab pemilik tangan terkejut.
"Mari lihat, mungkin saja itu jari telunjukmu." Ucap Zale berbisik, dia raih tangan Elle yang satu lagi dan berpura-pura menghitung. "Oh, semua jarimu lengkap. Jadi, jari siapa itu?"
"Mu-mungkin punya nenekku." Jawab Elle asal, berharap agar segera keluar dari situasi horor ini.
"Ya, benar juga." Menanggapi Elle dengan serius, bola mata Zale berputar pelan sebelum berfokus dan menatap tajam bola mata cokelat tua milik Elle. "Kau harus berterimakasih karena aku mengirimnya langsung pada Tuhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
39th
Fantasy"Jangan pernah berpikir kau bisa lari dariku, tak akan terjadi sekalipun dalam mimpi." ~ Zale Mitnar, pria brengsek yang mengambil satu gadis dari tiap provinsi di Minar untuk dijadikan 'wanitanya' selama sebulan sebelum akhirnya ia bunuh. Timeline...