"Meski kau membunuh seorang gadis dari tiap provinsi, kau tetap bisa merasakanku."Kata-kata itu terngiang seakan ingin memecahkan kepalanya. Sudah sangat lama dari waktu ketika ia mendengarnya, namun tak pernah sekalipun Zale lupa. Bahkan suara Maude seakan sedang berbisik tepat di samping telinganya saat ini.
Zale berjalan gontai menuju meja, mengambil satu botol minuman yang masih utuh lalu menghantamkannya ke dinding hingga pecah berkeping-keping.
Mencoba untuk menghilangkan suara Maude dari kepalanya dengan cara pengalihan, namun tetap gagal. Yang ada kepalanya mulai pening dan telinganya berdenging.
Zale mengambil botol lainnya, kali ini ia membuka botol dan meneguk minuman yang ada di dalamnya sampai habis. Berharap mabuk akan membuat pikirannya teralihkan dari suara-suara itu dan teringat hal lain yang terjadi dalam hidupnya.
"Bergerak sekali, kau akan tidur selamanya." Sebuah pedang disodorkan ke arahnya dari belakang oleh seseorang bersuara lembut, tapi kejam.
"Zale Mitnar, apakah hari ini kau bersedia mati di tanganku?"
Zale ingat, ia tidak membalas satupun ucapan dari gadis itu. Tidak mengeluarkan sepatah kata apapun padanya saat diancam sampai gadis itu tiba-tiba pingsan. Dia jatuh tersungkur di lantai kehilangan kesadaran.
Zale berbalik menatap gadis yang terkapar di lantai kamarnya itu dan mengerutkan alis. Belum ada ia membalas apa-apa tapi si gadis sudah tumbang duluan.
Selang beberapa waktu, orang kepercayaan sekali pakainya mendapatkan informasi tentang gadis itu secara lengkap bahkan sampai ke anggota keluarga tersisa yang selama ini disembunyikan olehnya.
"Isabela Taryn, 24 tahun, bagian dari organisasi pemberontakan 901, berasal dari ***, dia punya seorang *** dan dia yang membiayai hidupnya. Gaji yang didapat dari pekerjaan ini sejumlah..."
Ingatannya terhenti disana. Zale mengerjap, rasa sakit semakin mendominasi seluruh kepala. Zale mengambil botol lain yang berada didekatnya, menegak minuman di dalamnya sebelum berakhir pingsan karena tak dapat mengendali dirinya sendiri terutama pikirannya.
Semalaman ia pingsan. Paginya saat terbangun di pukul sepuluh, ruangannya masih berantakan. Seharusnya botol-botol kaca itu sudah dibersihkan saat dirinya masih lelap, namun dimana pelayan kamarnya itu? Apa yang membuatnya begitu sangat terlambat bahkan tak menunjukkan tanda-tanda akan segera datang?
Decakan pelan terdengar dari belah bibir Zale, dia beranjak dari posisi rebahan ke berdiri lalu di sambut oleh sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan.
"Selamat pagi, adikku." Sapa Elias tersenyum, untuk pertama kali setelah puluhan tahun akhirnya pria itu menunjukkan sisi normalnya pada Zale.
"Kuperhatikan belakangan ini kau minum berlebihan." Tambah pria itu berlagak seakan dia khawatir, tapi memang. Elias khawatir. "Sebaiknya kau berhenti minum."
Daripada menanggapi celotehan kakaknya tentang teguran minum alkohol berlebihan, Zale lebih tertarik pada hal lain.
Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum--bukan, melainkan seringai licik. "Akhirnya kau bosan berpura-pura."
"Bukankah ini yang sangat kau inginkan sejak dulu?" Elias membalas masih dengan senyuman yang terlihat sangat menyebalkan di mata Zale.
"Aku bicara normal padamu."
"Karena kau memang normal." Sahut pria itu.
Langkah Elias mendekat, tangannya terulur mencoba menyentuh rambut Zale. "Sesuatu terjadi pada rambutmu?" Tapi, lebih dulu tangannya itu ditepis kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
39th
Fantasy"Jangan pernah berpikir kau bisa lari dariku, tak akan terjadi sekalipun dalam mimpi." ~ Zale Mitnar, pria brengsek yang mengambil satu gadis dari tiap provinsi di Minar untuk dijadikan 'wanitanya' selama sebulan sebelum akhirnya ia bunuh. Timeline...