"Kami berladang hari ini." Martha tersenyum canggung, setelah mendengar banyak sekali desahan dari dua orang dihadapannya, setidaknya pagi ini ia mencoba bersikap biasa saja seolah tidak pernah mendengarnya.
"Jadi, aku buat sarapan lebih awal untuk kalian. Kalian tidak apa-apa kutinggal dirumah, kan? Kalian berdua jadi, seharusnya tidak takut." Imbuh Martha.
Tak ingin berdua saja di rumah Martha dengan Zale mengingat kemarin satu hari penuh mereka melakukan... Elle mengajukan diri. "Boleh aku ikut? Aku... aku suka berladang di akhir pekan."
Bohong! Mana ada ia suka berladang, biasanya di akhir pekan Elle habiskan untuk makan tidur makan tidur seharian bahkan mandi di Minggu sore sangking malasnya.
Ya, wajah sih. Selama lima hari penuh dia menjadi budak di kantor. Mengejarkan hal-hal yang tidak seharusnya dan sekarang di tempat ini, ia pertaruhkan tubuhnya demi kebebasan.
Segera setelah Zale kembali ke istana, Elle akan dibebaskan. Begitu kesepakatan baru diantara mereka.
Masalahnya... Zale masih enggan kembali untuk ke istana karena Elias ada disana. Musuh dalam selimut sekaligus seseorang yang terlibat dalam penghancuran masa kecil.
Seolah tahu isi kepala Zale sedang berkecamuk, setelah Martha pergi meninggalkan ruang makan, Elle menepuk ringan lengan Zale.
"Aku tahu kau membencinya, tapi kalian sama-sama korban. Kalian tidak ingin hal itu menimpa kalian. Elias memang pengecut, dia tidak bisa melindungimu. Tapi, kurasa sekarang dia sedang mencoba untuk menebus kesalahannya." Ujar Elle bersimpati.
"Kalian tidak memiliki siapapun lagi selain satu sama lain, kan?"
Zale tersenyum miring dan membalas kata-kata Elle. "Aku tidak peduli dia menyesalinya atau tidak. Yang dia lakukan saat ini semakin membuatku membencinya."
"Kurasa sebaiknya kalian berdua bicara--"
"Kau suka berladang, kan?" Zale memotong ucapan Elle, membanting topik kembali pada berladang. "Kau sering melakukannya di akhir pekan, kurasa aku juga menyukainya."
"Ayo kita berladang bersama!" Ajak pria itu meraih tangan Elle, menarik gadis itu bersamanya menyusul Martha dan orang tuanya yang sudah lebih dulu keluar rumah.
Elle jelas tahu kalau Zale sengaja mengganti topik karena tak ingin membahas sesuatu yang berhubungan dengan kakaknya atau nanti seharian penuh suasana hatinya akan rusak.
Walau begitu Elle rasa akan lebih bijak jika Zale mau berbicara dengan Elias secara empat mata untuk meluapkan keresahan satu sama lain sebagai saudara dan sejenak melupakan kebenciannya terhadap sang kakak.
Hanya saja resolusi itu terdengar sangat mustahil untuk saat ini.
Sangat amat mustahil.
Lagipula Zale lebih nyaman berbicara dengan Elle dibanding siapapun di dunia ini. Walau isi percakapannya dengan gadis itu adalah hal-hal menyebalkan. Namun Zale tak menampik kalau ia senang diajak bicara, berdebat, dan mengeluh bersama. Pengecualian untuk topik Elias. Pria itu sinting!
"Bukankah kalian berdua sama saja?" Cibir Elle di tengah perjalanan menuju ladang milik keluarga Martha. "Kau dan kakakmu itu sama-sama tidak waras dengan cara yang berbeda."
"Mungkin, entahlah." Meski malas menanggapi, Zale tetap membalas perkataan Elle. Bukan tipe orang yang akan diam seribu bahasa saat sedang dalam suasana hati buruk, bukan juga tipe orang yang akan memaki tiba-tiba walau ingin.
"Kalau begitu berjanjilah kau akan bicara empat mata padanya suatu hari saat kau siap." Elle mengulurkan jari kelingkingnya pada Zale.
Pria itu hanya menatap kelingkingnya selama dua menit sebelum akhirnya mengaitkan kelingkingnya disana dan menyahut. "Terserah kau saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
39th
Fantasy"Jangan pernah berpikir kau bisa lari dariku, tak akan terjadi sekalipun dalam mimpi." ~ Zale Mitnar, pria brengsek yang mengambil satu gadis dari tiap provinsi di Minar untuk dijadikan 'wanitanya' selama sebulan sebelum akhirnya ia bunuh. Timeline...