EPILOG

4.1K 542 194
                                    

"Kau terlihat... sempurna!" Elias mengambil langkah mundur sembari teraneh semringah, memandang betapa sempurnanya sang adik dalam balutan jas formal yang jarang sekali pria itu kenakan.

"Ini dia pengantin pria kita." Celetuknya menambahkan.

Kekaguman tergambar jelas dari caranya menatap Zale. "Aku tak menyangka dapat menjadi bagian dari hari istimewa ini, Zale."

"Tak perlu berlebihan." Sahut pria itu risih. "Bicara sekali lagi maka kutendang kau keluar dari sini." Ancamnya sedari tadi sudah berusaha untuk mengabaikan celotehan Elias yang terlalu memujinya.

"Baiklah, baiklah." Tak mau berdebat di hari istimewa sang adik, Elias mengalah kali ini.

Lelaki dalam balutan kemeja putih dan vest cokelat tua itu menghampiri Zale, berdiri tepat di belakang Zale yang sedang memandang keseluruhan pantulan dirinya dalam sebuah cermin raksasa.

"Haruskah aku menjemput pengantin wanitamu sekarang juga?"

Zale menoleh pada Elias yang berada tepat di sampingnya lalu menggelengkan kepala, tak setuju dengan kakaknya itu.

"Biarkan dia bersiap dengan tenang, aku tak mau dia terburu-buru. Aku sangat menantikan hari ini." Ujar Zale mengutarakan isi hatinya. "Meski dia tidak percaya pada cintaku."

"Maksudnya?"

"Dia setuju menikah karena mengira aku sedang memainkan peran untuk membahagiakannya menjelang kematian." Jelas Zale singkat, sukses membuat kening Elias berkerut banyak.

"Kematian? Zale?" Kebingungan di wajah Elias sangatlah wajar, pria itu tidak tahu apa-apa tentang Elle. Dia hanya tahu Zale mendadak akan menikah dengan Zale.

"Kau tidak sedang bercanda, kan? Kenapa kau menyebut kematian? Zale," mendesak jawaban dari sang adik, Elias menggoyangkan lengan Zale berkali-kali. "Zale tatap aku dan jelaskan."

"Perempuan yang ingin kunikahi sedang sakit, kak."

Mendengar Zale menyebutnya mengayun kata 'kak' padanya, hati Elias terenyuh juga sakit disaat yang sama usai mengetahui sakit perempuan itu tidak akan bisa sembuh dan terjadi kesalahpahaman mengenai Elle tidak percaya bahwa Zale hanya berpura-pura mencintainya dan menganggap Zale hanya kasihan padanya.

"Kau sudah berusaha keras untuk membuktikannya, kan?"

Zale mengangguk. "Aku sudah berusaha, dan tak ingin memaksanya untuk percaya. Dia bebas mempercayai apa yang dia percayai karena aku tidak mempermasalahkan hal itu."

"Lagipula salahku dari awal." Tambahnya sadar diri.

Jujur saja kalau ditanya apakah Elias sedih sudah pasti jawabannya sangat.

Sejak dulu ia tidak pernah melihat Zale benar-benar bahagia dan baru sekaran setelah sekian lama. Sialnya, kebahagiaan pria itu tidak akan bertahan lama.

"Bagaimana kalau coba sekali lagi, Zale?" Ujar Elias belum menyerah memberi dukungan. "Katakan dari hatimu ke hatinya, dia pasti akan percaya."

"Aku tidak ingin melukai--"

"Zale, cinta tidak melukai siapapun. Kau hanya perlu menyatakan perasaanmu sekali lagi, percayalah padaku." Sebelum Zale sempat membantahnya, Elias mengambil setangkai bunga mawar dari dalam vas besar lalu meraih tangan Zale dan meletakkan bunga tersebut ke dalam genggamannya.

"Bawa bunga ini dan katakan padanya sekarang juga."

"Kau yakin?" Tanya Zale dengan nada ragu, dia lagi-lagi hanya tidak ingin menyakiti Elle dengan pernyataan cintanya. "Tidak akan menyakitinya sama sekali?"

39thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang