37. The Dark Mark 0.2

73 5 0
                                    

Draco masih disana, duduk diam di depan perapian. Draco tetap diam, kepalanya bersandar di bahu Sally, tatapannya kosong memandang api yang menari-nari di perapian. Ia terlihat seolah tenggelam dalam pikirannya, dan meskipun kehangatan perapian merambat di sekitarnya, suasana hati Draco tetap kelam dan hampa. Sally menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan kehangatan yang lebih dari sekadar api.

Suara pintu terbuka memecah keheningan malam itu. Sally menoleh, dan melihat ayahnya, Regulus, memasuki ruangan dengan jubah yang basah oleh hujan di luar. Air menetes perlahan dari kain gelapnya, menciptakan genangan kecil di lantai kayu. Matanya langsung tertuju pada putrinya dan Draco yang duduk di depan perapian.

"Ayah pulang cepat hari ini," Sally menyapa, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Regulus mengangguk pelan, pandangannya bergeser ke arah Draco. Sesaat, suasana ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang samar, seolah mereka saling memahami sesuatu yang tidak diucapkan. Ada kegelapan yang tak terucap di mata Regulus, mungkin rasa prihatin, atau bahkan kesedihan yang terselubung.

"Draco, kau bisa menginap," ucap Regulus akhirnya, suaranya tenang tapi penuh dengan pengertian.

Draco sedikit bergerak, seolah baru menyadari kehadiran Regulus. Tatapannya naik, bertemu dengan mata sang ayah dari Sally. Ada sejumput rasa terima kasih yang tak terucap di balik sorot matanya, namun Draco tidak berkata apa-apa. Hanya sebuah anggukan pelan sebagai balasan. Rupanya Regulus tahu apa yang terjadi pada keluarga Malfoy.

Sally menoleh kembali ke arah ayahnya, lalu ke Draco. Rasanya seolah setiap orang di dalam ruangan ini tahu betapa besar beban yang kini dipikul oleh pemuda di sampingnya. Keluarga Malfoy, dengan segala kehormatan yang mereka pegang teguh, kini hancur berkeping-keping. Dan Draco, putra tunggal keluarga itu, dibebani tugas yang tak manusiawi.

Regulus berjalan mendekat, melepas jubahnya dan menggantungkannya di dekat pintu. Ia menghela napas dalam-dalam, menatap api yang sama dengan tatapan penuh pemikiran. "Kau tidak sendirian, Draco," katanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. "Kita semua terjebak dalam ini, tapi itu bukan berarti tak ada jalan keluar."

Draco tetap diam, tapi genggaman tangannya pada Sally semakin kuat, seolah ia berusaha menemukan pegangan di tengah kekacauan hidupnya. Regulus menatap keduanya sebentar lagi sebelum berbalik, memberikan mereka ruang.

Sally merasa hatinya semakin berat. Bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat? Melihat Draco, yang begitu rapuh dan terguncang, membuat hatinya terluka.

Sally menatap Draco dengan penuh perhatian, mencoba memahami beban berat yang kini menyesakkan dada kekasihnya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bertanya dengan hati-hati, suaranya hampir berbisik, "Apa rencanamu sekarang, Draco? Bagaimana kau akan menghadapinya?"

Draco menghela napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar lelah dan penuh beban. "Aku punya satu rencana," katanya perlahan. "Aku... aku ingin memperbaiki Vanishing Cabinet. Ada dua lemari kembar—salah satunya ada di Borgin and Burkes, dan yang satunya lagi di Hogwarts. Jika aku bisa memperbaikinya, aku bisa membuka jalur bagi para Death Eater untuk masuk ke Hogwarts tanpa terdeteksi."

Sally terdiam, mencerna apa yang baru saja didengarnya. Rencananya sangat berbahaya, tapi di saat yang sama, ide itu—secara strategis—luar biasa brilian. Draco begitu tertekan dengan misinya, namun tetap mampu berpikir secerdas itu.

"Kau... jenius, Draco," ujar Sally dengan nada kagum, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran. Matanya bersinar penuh rasa kagum dan keprihatinan. "Kau benar-benar jenius."

Draco menoleh, sedikit terkejut dengan pujian Sally. Di balik semua kesedihannya, terselip rasa terima kasih dan pengakuan yang tulus dari Sally, sesuatu yang ia butuhkan di saat seperti ini. Namun, alih-alih merasa bangga, Draco hanya menggelengkan kepalanya, matanya kembali penuh beban.

"Jenius?" gumam Draco. "Ini bukan tentang itu. Ini... satu-satunya cara. Aku harus melakukannya, Sally. Aku tak punya pilihan lain."

Sally mendekat, kedua tangannya kini menggenggam wajah Draco, memaksanya untuk menatapnya. "Draco," katanya pelan tapi tegas, "aku akan membantumu, aku akan ada disampingmu."

Draco tampak goyah, bibirnya bergetar, dan untuk sesaat, keangkuhan yang biasa ia tunjukkan menghilang, tergantikan oleh sisi rapuh yang jarang ia perlihatkan pada siapa pun. Draco mengangguk, kepalanya kembali ia senderkan di bahu Sally. Matanya terpejam, meski tersiksa, ia sudah aman sekarang. Draco dipelukan Sally, senang rasanya memiliki seseorang untuk berbagi kejujuran. Draco bersyukur setidaknya ia tak sendirian.

 Draco bersyukur setidaknya ia tak sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE LAST BLACK- DRACO MALFOY x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang