49. Sectumsempra

72 6 0
                                    

Lorong-lorong Hogwarts tampak asing di mata Sally siang itu. Matahari bersinar terang, tetapi Sally tak merasa terganggu. Firasat buruk terus menghantui pikirannya, bayang-bayang mimpi tentang ibunya—pandangan kosong Pandora, ucapan berulang yang menghantui, dan liontin Slytherin yang tampak begitu nyata. Begitu banyak yang tak terjelaskan, dan semakin ia mencoba memahami, semakin perasaan tidak tenang itu menghimpitnya, membuat pikirannya terasa semrawut. Langkahnya makin cepat, hampir seperti ia ingin melarikan diri dari pikirannya sendiri.

Namun, di tengah keraguan yang membelenggu, suara air mengalir yang terdengar di ujung lorong membuatnya berhenti sejenak. Suara itu terpantul, makin jelas di telinganya, menariknya dengan rasa takut dan penasaran yang tak bisa ia jelaskan. Sally memaksakan dirinya untuk melangkah maju, mendekati pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, dan begitu ia mengintip ke dalam, pemandangan di depannya menghancurkan semua harapannya.

Draco ada di sana, tergeletak di lantai basah dengan darah menodai kerah jubahnya yang sudah lusuh. Wajahnya pucat, hampir tanpa warna, sementara napasnya pelan, tersendat, seakan tiap helaan adalah perjuangan. Mata Sally membelalak, otaknya berusaha mencerna kenyataan di depannya, tetapi tubuhnya membeku. Tangan Draco yang lemas tergeletak di genangan darah, dan tatapannya kosong, tak fokus.

"Draco..." suara Sally terdengar begitu pelan, hampir tak terdengar, tapi nada suaranya dipenuhi kepedihan yang dalam. Namun, Draco tidak merespons. Dia hanya terdiam di sana, seolah-olah tak mendengar apa pun, tak merasakan apa pun.

Rasa putus asa membakar dalam dada Sally, dan tanpa bisa ia kendalikan, perasaan itu berubah menjadi amarah yang mendidih. Api hitam mulai berkobar di sekelilingnya, seperti bayangan gelap yang hidup. Amarah dan ketakutan, rasa kehilangan yang menekan, semuanya meledak dalam kobaran yang mematikan, nyaris mengambil alih kesadarannya. Begitu mudah Sally meledak, dua kejadian mengerikan terjadi dalam sehari. Mimpi buruknya, dan sekarang Draco yang tergeletak nyaris tak bernyawa. Tubuhnya terasa ringan dan lepas kendali, seluruh dunianya mulai terlihat kabur. Ia mengangkat pandangannya dan melihat sosok lain di ujung ruangan—Harry, berdiri dengan ekspresi kaget bercampur takut, seperti rusa terperangkap di hadapan pemangsa.

"APA YANG KAU LAKUKAN!!" gumaman Sally terdengar rendah, nyaris seperti bisikan penuh kebencian. Api hitam itu bergerak, bagaikan makhluk liar yang lapar akan kehancuran, merangkak mendekati Harry yang masih berdiri di sana, terpaku ketakutan. Rasa sakit, rasa benci, dan rasa putus asa berputar-putar dalam dirinya, membuatnya hampir lupa siapa dia sebenarnya. Yang ia tahu hanya bahwa seseorang di depan matanya harus merasakan penderitaan yang sama.

"Mata dibalas mata.." Sally mengumandangkan kata yang sama. Tatapannya kosong, tubuhnya terbalut api hitam membara. Sally tak melihat siapa lagi sosok di depannya, api itu merambat maju seakan genangan air itu tak bisa menghentikan kobaran hebatnya. Ruangan itu terasa sesak dan panas.

Harry mencoba mundur, tapi langkahnya terlalu lambat. Api hitam itu semakin mendekat, meliuk-liuk di udara seperti ular berbisa yang siap menyerang. Namun, sebelum api itu sampai padanya, sesuatu yang hangat dan lembut mencengkeram pergelangan Sally, menghentikannya seketika. Untuk beberapa detik Sally kembali sadar. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan tatapan sayu Draco yang kini memaksakan diri untuk bangkit sedikit, memegang tangannya meski dengan sisa-sisa tenaga yang nyaris tak ada.

"Draco..." suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan Draco begitu lemah, tetapi dalam keheningan itu ada sesuatu yang menenangkan, seperti api yang diredam oleh hujan. Kekuatan aneh dari genggaman Draco seolah menariknya kembali ke dunia nyata, memaksa Sally untuk merasakan lagi semua rasa takut dan penyesalan yang ia rasakan sejak awal. Api hitam yang menyelubungi tubuhnya perlahan meredup, lenyap bagaikan nyala lilin yang padam ditiup angin.

Harry melihat kesempatan itu dan tanpa menunggu, ia segera melarikan diri dari kamar mandi, langkahnya bergema di sepanjang lorong hingga menghilang di kejauhan. Sally tak peduli; dia hanya bisa memandang Draco, tubuhnya bergetar sementara air matanya mulai mengalir.

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka kembali, dan sosok tinggi berbalut jubah hitam masuk dengan langkah tegas. Snape menatap tajam pada Sally dan Draco, pandangan mata hitamnya tajam dan penuh perhitungan. Namun, sebelum Snape berkata apa pun, tatapannya melembut sedikit saat ia melihat kondisi Draco yang terkulai di lantai.

"Black, apakah Potter yang melakukannya?" suara Snape terdengar rendah dan dingin, meski ada sedikit nada khawatir yang tersembunyi di balik kalimat tajamnya. Tanpa menunggu jawaban, Snape berlutut di samping Draco, merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan botol kecil berisi ramuan penyembuh.

Sally masih duduk terpaku, wajahnya basah oleh air mata yang tak mampu ia tahan. Dalam diam, ia melihat Snape mulai merapal mantra penyembuh sambil menuangkan setetes ramuan pada luka-luka di pergelangan tangan Draco. Cahaya hijau lembut memancar dari ujung tongkat Snape, melingkupi Draco dengan kehangatan yang menenangkan. Detik demi detik berlalu, dan perlahan, warna kembali pada wajah Draco yang sebelumnya pucat pasi.

Snape menatap Sally sekilas, wajahnya keras namun penuh dengan sorot mata yang penuh makna. Seolah-olah dia tahu apa yang terjadi, tahu kekuatan gelap yang disimpan Sally dalam dirinya, dan tahu risiko yang ia hadapi jika membiarkan kekuatan itu mengambil alih.

"Kau harus belajar mengendalikan dirimu, Ms. Black," katanya dengan suara yang lebih tenang namun tetap tegas. "Kekuatan hebat membutuhkan energi dan konsekuensi yang setimpal. Dan tentu saja, musuh bisa menemukan kelemahanmu dengan mudah."

Sally hanya bisa mengangguk, suaranya tersangkut di tenggorokan. Pemandangan Draco yang terbaring nyaris tak bernyawa masih terpatri dalam pikirannya, membayangi setiap pikiran jernih yang berusaha muncul. Tetapi di balik kengerian itu, ada perasaan lain yang mengalir diam-diam, gelap dan manis seperti racun. Perasaan puas, sekelebat kegirangan yang samar, seperti ia akhirnya menemukan kuasa yang tak terbantahkan di balik kekuatan api hitamnya. Sensasi itu merayap dalam dirinya, menggoda, menantang, dan tanpa sadar menariknya lebih jauh dari batas moral yang pernah ia pertahankan dengan teguh.

Ketika Snape melangkah pergi setelah memastikan Draco akan pulih, Sally terdiam, tatapannya kosong namun bibirnya hampir tertarik ke sudut kecil senyuman yang nyaris tak kasat mata. Kekuatan ini... begitu dahsyat dan mutlak. Selama ini, dia selalu merasa tertahan oleh rasa takut, oleh batasan yang ia ciptakan sendiri. Tapi malam ini, dengan api hitam yang nyaris melahap segalanya, ia menyadari bahwa kekuatan itu dapat membuat siapa pun bertekuk lutut di hadapannya—bahkan Harry, yang biasanya terlihat begitu tak tergoyahkan.

Pikiran itu merambat seperti bisikan lembut yang berusaha menghasut. Apa yang terjadi tadi bisa saja berbeda. Mungkin ia tak perlu berhenti. Mungkin, jika saja Draco tidak menghentikannya... Harry akan hangus. Api hitamnya akan memusnahkan ancaman itu, memastikan tak ada lagi orang yang berani mengusik kedamaiannya dan Draco. Dengan kekuatan itu, ia bisa menciptakan dunia tanpa gangguan, dunia di mana tidak ada yang bisa melukai mereka.

Hatinya berdetak pelan, dan dalam kesendiriannya, bayangan api hitam itu terus menari di pikirannya, berbisik-bisik, menawarkan kekuasaan yang lebih. Pikirannya selalu kembali dengan ekspresi Harry yang terdiam ketakutan. Sensasi itu seperti racun manis yang mengalir pelan dalam darahnya, memutar balik akal sehat dan moralitas yang dulu pernah ia miliki.

Dan di tengah kegelapan itu, Sally mulai berpikir, Mengapa aku harus peduli pada batasan moral yang lemah ini? Apa artinya semua itu jika dengan kekuatan ini aku bisa menjaga orang-orang yang kucintai, dan membuat mereka yang menggangguku tunduk dalam ketakutan?

Senyuman samar kembali muncul di wajahnya, dingin dan penuh perhitungan. Ia tak lagi takut pada kekuatannya; ia mendambakannya. Dunia, moralitas, bahkan nyawa orang lain kini tampak lebih seperti ilusi semata—sekadar kertas kosong yang mudah ia hanguskan dengan satu percikan api.

 Dunia, moralitas, bahkan nyawa orang lain kini tampak lebih seperti ilusi semata—sekadar kertas kosong yang mudah ia hanguskan dengan satu percikan api

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE LAST BLACK- DRACO MALFOY x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang