42. Little talk in the middle of the night.

183 18 0
                                    

Sally terduduk diam di depan perapian, matanya memandangi bayangan samar dasar Black Lake yang terlihat dari jendela besar ruang rekreasi Slytherin. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, namun matanya yang terbuka lebar menunjukkan bahwa tidur bukanlah pilihan malam ini. Di tangannya, satu gelas coklat panas menghangatkan jemarinya, tapi tak mampu menenangkan kekacauan pikirannya.

Pikiran Sally berkecamuk, seakan diterpa badai yang tak kunjung reda. Berkali-kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua keputusannya benar, bahwa mengikuti langkah ayahnya dan melangkah ke jalan kegelapan adalah pilihan yang tepat. Namun, sisi lain dari dirinya terus mengelak. Dia tahu, di dalam hatinya, ini bukan sekadar tentang bergabung dengan Pangeran Kegelapan. Ini jauh lebih besar dari itu.

Bergabung dengan kegelapan hanyalah permulaan, sebuah jembatan menuju jalan yang ia tak tahu di mana ujungnya. Entah apakah pilihannya benar atau salah, Sally merasa dirinya berada di persimpangan yang kelam. Ayahnya terlalu menutup diri, dan tanpa arahan yang jelas dari sosok yang seharusnya ia percayai, Sally merasa tersesat, tak tahu harus bagaimana.

Lamunannya tiba-tiba terhenti ketika ia merasakan lengan berat Draco perlahan merangkul pundaknya. Ia menoleh sedikit, dan melihat Draco duduk di sebelahnya, wajahnya penuh kelelahan namun dengan sorot mata yang selalu sama—sorot yang penuh kepedulian dan ketakutan yang tak pernah diungkapkan.

"Tak bisa tidur?" tanya Draco dengan suara rendah, matanya menatap perapian yang membara di depan mereka.

Sally hanya mengangguk pelan, kemudian menyenderkan kepalanya ke pundak Draco, mencari sedikit kenyamanan dalam keheningan malam. Hanya suara kayu yang terbakar di perapian yang mengisi keheningan di antara mereka.

"Sebenarnya, kenapa kita seperti ini?" Sally bertanya pelan, nada suaranya mencerminkan keputusasaannya. Ia menghela napas panjang, merasa terbebani oleh pertanyaan yang tak pernah ia temukan jawabannya.

Draco menghela napas, ekspresinya suram. "Entahlah. Aku juga meragukan semuanya. Apakah ini hanya tentang melindungi keluarga kita, atau ada lebih dari itu."

Tangan besar Draco perlahan membelai rambut hitam Sally, merasakan betapa halusnya dan betapa ia merindukan momen ini. Rambutnya terasa lebih panjang daripada yang terakhir ia lihat, mengingatkan Draco betapa banyak waktu yang telah mereka habiskan dalam bayang-bayang ketakutan dan tekanan.

"Kupikir aku tersesat," gumam Sally, suaranya terdengar lemah. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang besar yang menantiku. Tapi aku tak siap, aku tak akan pernah siap."

Draco menatap Sally, menyadari betapa rentannya gadis yang duduk di sampingnya. Meski mereka berdua terjebak dalam permainan yang lebih besar dari mereka, dia tahu bahwa mereka hanya punya satu sama lain.

"Tak ada yang benar-benar siap," Draco akhirnya berkata. "Tapi kita akan menghadapinya bersama, Sally. Apa pun itu."

Sally terdiam, namun merasa sedikit lebih ringan dengan kehadiran Draco di sampingnya.

"Terima kasih, entah bagaimana hidupku tanpa dirimu," gumam Sally, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aneh rasanya kalau versi kecil kita melihat kita yang sekarang."

Draco terkekeh pelan, tawanya kali ini terdengar lebih lega, seolah beban yang selama ini menghantui dirinya sedikit terangkat. "Tidak aneh, Sally. Ini justru mimpi Draco kecil yang menjadi kenyataan. Aku tak pernah menganggapmu sebagai saudara—kalau aku pernah bilang begitu, pasti aku berbohong. Aku sudah menyukaimu sejak lama, gadis keren yang lebih kaya dariku."

Sally tertawa, nada suaranya jauh lebih ringan dibanding beberapa saat lalu. "Jadi kau menyukai gadis yang lebih kaya darimu, ya? Apa ini berarti kau lebih tertarik pada hartaku daripada diriku?"

THE LAST BLACK- DRACO MALFOY x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang