39. A box of anger

108 9 0
                                    

Ruangan itu sunyi ketika Sally memasuki rumah. Langkahnya berat, seperti ada beban yang mengganjal di hatinya, dan rasa bersalah terus menghantui pikirannya. Ia baru saja kembali setelah berhadapan langsung dengan Voldemort, memohon untuk bergabung dengan barisan sang Pangeran Kegelapan. Meski niatnya adalah untuk melindungi keluarganya, terutama ayahnya, sesuatu dalam dirinya tahu bahwa tindakannya akan membawa bencana.

Regulus berdiri di tengah ruang keluarga. Ekspresinya gelap, matanya tak bergerak dari lantai saat Sally memasuki ruangan. Ia menghela napas panjang, seolah mencoba mengendalikan amarah yang membakar di dalam dirinya. Tapi akhirnya, semuanya meledak. Tanpa peringatan, ia menendang kursi di depannya dengan keras, membuat Sally tersentak ketakutan.

"Kau tahu betapa aku berusaha sekeras ini?!" teriaknya, suaranya menggelegar, penuh dengan amarah dan kekecewaan yang terpendam. "Kau bodoh, Sally! Benar-benar bodoh!"

Sally, masih terguncang, maju selangkah, ingin mencoba menjelaskan tindakannya. Tapi sebelum ia bisa berkata-kata, Regulus mundur, seolah-olah jarak antara mereka semakin besar dengan setiap langkahnya.

"Kau tahu kenapa aku pergi?!" lanjutnya, suaranya serak karena emosi yang membara. "Kau tahu apa yang aku korbankan?! Aku melakukan hal-hal berbahaya, berjuang demi menyelamatkanmu dari monster itu, Sally Black! Aku melewatkan setiap momen penting dalam hidupmu! Langkah pertamamu, kata-kata pertama yang kau ucapkan—aku tidak ada di sana! Aku membiarkanmu tumbuh di dunia yang keras ini sendirian, hanya untuk melindungimu di masa depan! Dan kau, dengan bangganya, malah menyerahkan dirimu kepada bahaya itu?! Bodoh! Bodoh! Aku tak menyangka putriku tumbuh sebodoh ini!"

Sally merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya menusuk hatinya seperti pisau tajam. Tubuhnya gemetar, namun ia berusaha tetap berdiri tegak. "Ayah..." suaranya tercekik oleh tangis yang ia tahan.

Namun Regulus tak berhenti. "Tidak, Sally! Tidak! Aku benar-benar kecewa. Kenapa kau tak memberitahuku dulu sebelum bertindak?! Kau tak tahu apa saja bahaya yang akan menghampirimu setelah ini. Kau begitu bodoh, aku akui kau benar-benar bodoh." Regulus menghentikan ucapannya sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Dan Draco... kuharap kau tak berhubungan lagi dengannya setelah ini. Kau terbawa arus kuat, Sally. Draco tak seberharga itu untuk ditukar dengan nyawamu. Jangan keluar rumah, bahkan dalam jarak lima meter."

Sally tertegun mendengar nama Draco disebut. Itu membuat rasa sakit di dadanya semakin parah. Ia ingin membela hubungannya dengan Draco, tapi kata-kata ayahnya menutup mulutnya rapat-rapat. Regulus sudah berjalan pergi, menuju tangga untuk naik ke kamarnya, meninggalkan Sally sendirian dalam hening yang mencekam.

Sally tak bisa menahan lagi. Ia berteriak, suaranya pecah oleh isak tangis yang selama ini ia tahan. "Kalau begitu beritahu aku! Ayah! Kau tak tahu betapa bingungnya aku! Aku baru mendapatkanmu setelah bertahun-tahun! Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada ayahku! Aku baru mendapatkanmu kembali... aku tak ingin kau pergi lagi... maaf... maafkan aku... aku bodoh..."

Suara tangisnya makin pecah, tubuhnya tak kuat lagi menahan beban rasa bersalah yang ia rasakan. Kakinya lemas, dan ia ambruk ke lantai, terduduk dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Tangisnya menggema di seluruh rumah, mencerminkan betapa hancurnya hatinya.

Regulus berhenti di tengah tangga, mendengar tangisan putrinya yang begitu menyayat hati. Hatinya mulai melunak, dan kesadarannya menghantamnya dengan keras. Ia telah melakukan ini. Rasa kecewanya pada diri sendiri bercampur dengan rasa bersalah yang mendalam. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berbalik, berjalan ke arah Sally yang terduduk di lantai, dan memeluknya erat.

"Kau benar..." bisik Regulus pelan, suaranya gemetar. "Ini salahku... Seharusnya aku memberitahumu... Putriku... Putriku yang kucintai..."

Sally terisak di dalam pelukan ayahnya, merasa lega namun juga hancur di saat yang bersamaan. Regulus mengusap rambut putrinya dengan lembut, mencoba menenangkan tangisnya. "Pandora..." bisiknya lagi, memanggil nama istrinya dengan penuh rasa kehilangan. "Maafkan aku... Maafkan aku karena menyalahkan putri kecil kita..."

Sally terisak semakin keras dalam pelukan ayahnya, merasakan kehangatan yang begitu ia rindukan selama bertahun-tahun. Setiap isakan yang keluar dari bibirnya terasa semakin menghancurkan hati Regulus.

"Aku... aku juga terluka, Ayah..." bisik Sally dengan suara yang patah-patah, suaranya hampir tak terdengar di antara tangisnya. "Aku berusaha kuat... aku berusaha untuk tidak mengacaukan semuanya... tapi aku gagal... berkali-kali. Aku berantakan..."

Regulus memejamkan matanya, merasakan setiap kata Sally menampar dirinya sendiri dengan keras. Regulus berpikir ia melindungi Sally dari bahaya selama ini, tapi ia tak tau bahaya apa yang selama ini ditimpa putrinya karena kekosongan posisinya. Regulus menyadari, bahwa dirinya sendirilah yang melukai putrinya, putri kebanggaannya.

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melangkah lagi, Ayah..." Sally melanjutkan dengan nada yang penuh rasa putus asa. "Dengan kekuatan sebesar ini... api hitam... aku takut... aku takut itu akan menghancurkan semuanya... aku takut aku akan menjadi monster yang sama seperti yang kau hindari selama ini..."

Regulus menarik napas dalam-dalam, memeluk Sally lebih erat. "Sally, dengarkan aku..." bisiknya, mencoba menenangkan suara hatinya yang penuh rasa bersalah. "Kau bukan monster. Kau tidak akan pernah menjadi seperti itu. Kau adalah putriku... Kau mewarisi kekuatan besar, tapi itu tidak mendefinisikan siapa dirimu. Kekuatanmu adalah anugerah... bukan kutukan. Tapi kau tidak harus menanggung ini sendirian lagi. Tidak selamanya..."

Sally mendongak sedikit, menatap ayahnya dengan mata yang masih sembab karena tangis. "Aku membutuhkanmu, Ayah... selama ini. Aku begitu iri melihat Bibi Cissy yang selalu ada untuk Draco... dia selalu ada di hidupnya. Aku tidak punya siapa-siapa selain diriku sendiri. Kadang... aku hanya ingin seseorang yang bisa mengatakan bahwa aku tidak sendirian."

Regulus menundukkan kepalanya, air matanya jatuh perlahan. Kalimat Sally menusuk hatinya dalam-dalam. Ia tahu, ia telah membiarkan putrinya tumbuh sendirian, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa diperbaiki dengan mudah. "Kau benar... aku seharusnya ada di sana untukmu. Aku tidak bisa mengembalikan waktu yang hilang... tapi aku berjanji, Sally... aku akan berada di sini sekarang. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi."

Sally terdiam, merasakan kata-kata ayahnya menenangkan hatinya yang hancur. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lega. "Maaf, Ayah... aku benar-benar bodoh. Aku seharusnya tidak pernah mencoba mendekati Voldemort... aku hanya... aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan..."

"Aku yang bodoh, Sally," ujar Regulus lembut, mengusap rambutnya. "Aku selalu mengira bahwa tak melibatkanmu dalam rencanaku adalah hal yang terbaik. Aku tak tahu jalan mana yang harus kutempuh. Tapi kita bisa menemukan jalan keluarnya sekarang... bersama-sama."

Mereka berdua terdiam sejenak, hanya ditemani oleh suara nafas mereka yang pelan dan tangis Sally yang mulai mereda. Pelukan Regulus semakin erat, seolah mencoba menyatukan dua rasa yang terbendung dalam kokohnya tembok perasaan. Sally mengerti bagaimana ayahnya berusaha melindunginya, dan sebaliknya. Regulus terpukau atas seberapa beraninya Sally menghadapi bahaya karena cinta. Regulus seperti melihat dirinya dalam diri Sally.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE LAST BLACK- DRACO MALFOY x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang