46 Hari Ini

400 74 44
                                    


Ronald mengucapkan kalimat sangat lirih. Ucapan lirih yang hanya bisa didengar oleh telinga Aliya yang teramat sangat dekat dengan bibir Ronald.

Aliya berjengit. Dia mengambil jarak dari tubuh Ronald. Dilihatnya laki-laki itu tersenyum tipis, seperti biasanya. Senyum yang membuat Aliya menunduk salah tingkah. Ronald benar-benar seperti teka-teki. Belum lama ini laki-laki itu lebih banyak diamnya. Sedikit bicara dan kesulitan menjelaskan. Tapi akhir-akhir ini banyak sekali perubahannya.

Laki-laki itu mulai mengurus Toko Merah. Dia juga meminta pertimbangan Aliya untuk mengikuti konser Mas Andi. Membersihkan lantai ini sehingga menjadi ruang yang nyaman untuk membaca. Aliya dibuat kagum karena perubahan laki-laki itu.

Aliya merasakan hatinya semakin terbuka untuk Ronald. Laki-laki itu lebih tangkas dalam gerak. Dulu dia diam-diam, sering menunggunya di cafe, di atas kantornya. Mengirimkan makanan, juga mengantar jemputnya. Tadi laki-laki itu asyik menggenggam tangannya. Dan baru saja, laki-laki itu bergerak mendekat ke tubuhnya..

Sialnya, tubuh Aliya seakan mengijinkan semuanya itu. Dia menerimanya. Entah apa yang membuat Aliya seperti itu. Dia tidak seperti Imah yang bisa menolak Leon dengan tegas. Aliya seakan takluk pada Ronald. Pada senyum tipis laki-laki itu. Apakah dia sedang terjajah rasa?

"Sorry," Ronald menarik tubuhnya menjauhi Aliya.

Aliya melihat jam tangannya lagi.

"Mau pulang sekarang?" Tanya Ronald.

Aliya melihat jumlah lembaran buku pertama yang tinggal sedikit. Tanggung. Ujarnya, "Jam 10 deh."

Ronald mengangguk beberapa kali. Dia kembali berbaring di sebelah Aliya. Meraih tangan Aliya lagi, menggenggamnya di atas dadanya.

Aliya membiarkannya, merasakan hangat genggaman tangan laki-laki itu. Dia tidak menolaknya. Bahkan, dia menyukainya.

Aliya melihat Ronald yang memejamkan matanya lagi. Dia memperhatikan bibir laki-laki itu, seutas senyum tersimpul di sana. Pipi Aliya terasa menghangat dan membuatnya ingin tersenyum. Perempuan itu cepat-cepat membuka kembali membuka lembaran buku catatan milik Tuan Leon lagi.

⌘⌘⌘⌘

Seperti yang sudah kuduga, saat petang tadi, Tuan Karel datang ke kediamanku. Nyonya Liesbeth menyambut kekasihnya. Ah, sepertinya istilah itu tepat, meskipun begitu menjijikan. Seorang janda berkulit putih adalah sasaran bagi laki-laki hidung belang seperti Tuan Karel. Selain tubuhnya, harta warisan papi rupanya juga jadi peruntungan laki-laki rendah sepertinya.

"Di mana harta itu?" Tanya Nyonya Liesbeth begitu aku duduk di meja makan teras belakang. Ada Tuan Karel yang duduk di sebelahnya, menatapku tajam.

"Harta apa?" Tanyaku, memastikan.

"Kau jangan pura-pura bodoh. Harta warisan Tuan Leon, tentu saja!" Ujar Nyonya Liesbeth setengah menghardik.

"Harta seperti apa yang Anda maksud?" Tanyaku, lagi.

Nyonya Liesbeth terdiam. Di titik ini aku seperti yakin, perempuan itu sepertinya tidak benar-benar tahu harta seperti apa yang dia tanyakan. Bahkan bentuknya saja mungkin Nyonya Liesbeth tidak pernah melihatnya.

"Tuan Leon, kau jangan mengelak. Di depan, orang-orangku sudah siap mencari harta itu kalau kau tidak mau bekerja sama memberitahu kami di mana harta itu berada," ancam Tuan Karel.

"Tuan Karel, saya bertanya padamu, harta siapa yang kalian cari?"

"Dasar tidak tahu diuntung! Harta mantan suamiku, verdomme!" Nyonya Liesbeth yang menjawab.

"Kalian sungguh aneh, mencari harta yang bukan milik kalian. Papi mewariskan perusahaan itu, itu pun sudah kalian rampas dariku. Lalu kalian mencari apa lagi?" Aku menghentikan omonganku. Menarik napas panjang untuk menjaga emosiku tetap stabil. "Kalau kau berhak, mestinya papi memberikan harta itu padamu, Mevrouw," kilahku.

Toko MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang