Aliya naik ke motor Ronald setelah laki-laki itu sudah siap di motornya. Mereka menuju Toko Merah. Melewati jalan dimana dulu Societe de Harmonie berada. Menerobos kepadatan jalan lebar yang dulunya adalah kanal Molenvliet. Aliya jadi membayangkan dimana hotel milik Tuan Pieter, teman Tuan Leon. Juga bagaimana pinggiran kanal itu menjadi tempat mencuci baju masal.
Di sebuah lampu merah tiba-tiba Ronald menepuk lutut Aliya. Aliya jadi mencondongkan tubuhnya ke depan, menajamkan telinganya.
Lalu Ronald bertanya, "Mau makan dulu nggak?"
"Belum laper, nanti aja lah," tolak Aliya.
Ronald meyakinkan diri sendiri kalau itu hanya penawaran biasa. Tidak ada maksud lain, jadi dia tidak perlu kecewa karena ditolak. Tapi tetap saja, sedih kalau ditolak. Ronald menghela napas. Iya, dia kecewa.
Padahal Ronald berharap bisa menghabiskan sore berdua saja dengan Aliya terlebih dahulu. Namun sepertinya Aliya hanya mau lekas-lekas menyelesaikan urusan Toko Merah dan teka-teki, saja. Tidak lebih. Ronald merasa getir dengan pikirannya sendiri.
Toko Merah sore itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa kursi di ruang bagian depan yang terisi. Saat Aliya masuk ke sana, hanya ada Bang Jo di meja bar. Aliya langsung bertanya setelah menyapa, "Bilqis mana?"
Laki-laki itu menunjuk ke ruang yang lebih dalam, dimana Ronald sudah masuk ke sana lebih dulu. Aliya memesan minuman pada Bang Jo sebelum mengikuti langkah Ronald.
Di ruang yang lebih dalam, sudah ada Bilqis dan Fernando rupanya. Dua orang itu memang Ronald libatkan dalam obrolan mengenai pengelolaan Toko Merah. Mereka duduk saling berhadapan di meja tempat biasa mereka berkumpul. Tidak ada pengunjung yang mengisi ruang itu. Sementara Ronald entah ke mana. Aliya berjalan ke meja dua orang itu, melewati piano usang yang membisu di sisi ruangan.
"Cie pacaran," goda Aliya.
"Sirik aja lo! Makanya jadian!" Tukas Fernando memberikan serangan balik.
"Sama siapa? Lagi bikin cerpen, lo? Ngarang aja sukanya," seloroh Aliya.
"Noh," ucap Fernando, menunjukkan seorang laki-laki yang sedang menuruni tangga dengan bibirnya. Ronald.
"Lo beneran pengarang ya? Lulusan sastra ya, bro?" Tanya Aliya, terdengar seperti sebuah penyangkalan.
Candaan Aliya terhenti saat Ronald meletakkan sesuatu di depannya. Tanpa omongan apapun. Sebuah kotak berbentuk kubus, dari kayu. Di kemasannya bergambar susunan potongan kayu kecil dengan bentuk seperti permainan tetris. Sebuah puzzle. Aliya melihat laki-laki yang langsung berjalan ke arah kursi kosong di hadapan Aliya. Wajahnya masam. Entah apa maksudnya dengan memberikan kotak itu.
Aliya tidak mendapat petunjuk dari wajah Ronald. Tapi Fernando yang duduk di sisi meja yang lain menyungging senyum tengil. Aliya hanya membuka kotak itu untuk melongok isinya. Kemudian menutup kembali. Diam-diam dia tersipu.
"Oke, jadi kita mau mulai dari mana?" Tanya Bilqis memulai obrolan. Dia menatap ke Aliya, begitu juga Fernando dan tentu saja Ronald.
"Kok pada lihatin gue sih, dia yang punya tempat ini kalau lo pada lupa," ucap Aliya.
Seperti sebuah komando, Bilqis dan Fernando menoleh ke Ronald bersamaan. Membuat laki-laki itu jadi pusat perhatian sekarang.
"Ehm... sebenarnya... ehm... ini ide Aliya buat ngajak duduk bareng. Gue butuh bantuan buat ngurus tempat ini," kata Ronald. Pernyataannya membuat Bilqis dan Fernando kembali menoleh ke Aliya.
Aliya menghela napas. Dia memandang Ronald, menatap tajam. Laki-laki itu punya segudang ide yang dibicarakan lewat chat, tapi kesusahan menyampaikan langsung. Aliya tetap bungkam, ingin memaksa laki-laki itu yang bicara. Bertanggung jawab dengan idenya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
Ficção GeralRonald tiba-tiba tertarik dengan nenek moyang keluarganya, karena ada cerita tentang harta keluarga yang masih tersembunyi. Konon kakek dari kakeknya adalah orang yang sangat kaya. Sampai Ronald menemukan sebuah tulisan tanpa makna dari kakeknya. Di...