Xie Xia merasa sedang bermimpi panjang.
Ia tidak tahu apa yang ada dalam mimpinya, hanya tahu bahwa ia sedang bermimpi dan berusaha mati-matian unauk bangun, namun tidak bisa.
Tubuhnya terlalu lelah dan nyaris tidak punya energi, dalam ketidakberdayaan ia merasa ada orang di dekatnya, otaknya mengingat-ingat, entah kenapa nafas orang tersebut seperti milik Xie Hengyu.
Ah tidak mungkin, Hengyu pasti sedang kuliah, anak itu sudah tiga hari tidak mau bicara dengannya, ia belum menemukan alasan tepat untuk menjelaskan padanya soal buku harian....
Tunggu...tunggu..
Soal buku harian...
Ia harus segera berdamai dengan Xie Hengyu, tidak hanya demi mencegah anak itu menghitam, tapi juga mencegahnya bersekutu dengan Xie Cui untuk mendepaknya keluar dari rumah. Sepertinya ia memiliki alasan tersembunyi lain dalam alam bawah sadarnya, namun ia tidak tahu apa. Ia hanya tahu perasaannya begitu sakit selama dua hari ini, seolah-olah ia kehilangan sesuatu.
Kenapa di saat seperti ini fisiknya harus drop, maksudnya, bukankah ia sudah minum obat, tapi kenapa tidak ada hasil? Seperti inikah fú wú shuāng zhì, huò bù dān xíng? Ia benar-benar mengalaminya saat ini.
* Idiom : keberuntungan tidak pernah datang dua kali, tapi kemalangan selalu datang beruntun.
Di alam bawah sadarnya, Xie Xia berusaha keras mencoba melepaskan diri dari rasa lemah dan lesu yang membelitnya.
**
Xie Hengyu duduk di samping tempat tidur. Selang tak berapa lama teleponnya berbunyi. Ia melihat identitas penelpon, rupanya sang ayah Xie Cui.
Seolah tahu akan berurusan dengan apa, Xie Hengyu menarik nafas dalam-dalam sebelum menerima panggilan, "Ayah."
"XIE HENGYU ! " dari ujung telepon suara marah ayahnya menggelegar masuk, "AKU BARU PERGI DUA HARI, KENAPA PAMANMU BISA SAKIT? KAU NGAPAIN SAJA, NGURUS SATU ORANG SAJA TIDAK BECUS! KAU MASIH BERPIKIR UNTUK MENGEJARNYA? AKU PIKIR SEBAIKNYA KAU KEMASI BARANG-BARANGMU DAN KELUAR DARI RUMAH!"
"Ayah." Xie Hengyu menjawab dengan wajah tanpa ekspresi, ia melirik pria yang berbaring di ranjang rumah sakit, "Aku sedang di ruangan, Paman kecil berada di sampingku."
Xie Cui langsung terdiam . Setelah beberapa detik senyap ia bertanya dengan suara menciut, "Apa ia sudah bangun?"
"Belum. Masih tidur."
Meski Xie Cui tahu adiknya sedang tidur, ia tidak mau menganggu tidurnya. Dengan suara gusar dan terkesan tidak sabar ia berkata, 'Kau keluar dulu. Aku mau bicara sesuatu."
Xie Hengyu bangun dan meninggalkan ruangan setelah sebelumnya meminta perawat menemani Xie Xia. Ia berdiri di koridor yang sepi lalu menyandarkan diri ke dinding dengan kepala menunduk, "Sudah diluar."
"Barusan tadi dokter Jiang memberitahuku," ujar Xie Cui, "Kau jelaskan, apa yang dia maksud dengan tekanan mental membuat penyakit Xiao Xia memburuk? Apa yang terjadi antara kalian berdua selama dua hari ini? Malam sebelum perjalanan bisnis, aku ada menelponnya dan saat itu ia baik-baik saja. Kenapa mendadak situasinya berubah dalam dua hari aku tidak ada di rumah?"
"Mungkin saat itu keadaannya sudah tidak terlalu baik." Xie Hengyu menyahut dengan bijaksana, "Saat itu kami sudah bertengkar, dan ia mungkin tidak ingin membuat Ayah risau, jadi ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa."
Xie Cui tersedak mendengar ucapannya, "Apa maksudmu? Jadi sekarang semua ini salahku? Bocah tengik, aku saat ini tidak mood bicara denganmu ----- kenapa kalian berdua bertengkar?"