◇ Bibir yang terluka ◇
======
Sikap tidak acuh Xie Hengyu yang tiba tiba membuat Xie Xia merasa nervous. Sebelum sempat bertanya ada apa, ia melihat Xie Hengyu menaruh kertas di atas meja.
Xie Xia mengulurkan tangan dan mengambil kertas yang hanya separuh. Sepintas ia bisa melihat kertas ini adalah bagian dari buku harian. Tidak banyak tulisan yang tertera, dengan melihat sekilas sudah cukup mengungkapkan tulisannya.
Ia merasa nafasnya terhenti seolah ada sepasang tangan yang mencekiknya --- dari mana asalnya sepotong kertas ini?
Bukankah buku harian itu sudah diamankannya ke dalam laci lemari yang terkunci?
Tunggu sebentar.
Konten kertas ini belum pernah ia lihat sebelumnya, kertas separuh ini tak ubahnya ikan yang mencelat keluar dari jaring. Ia tidak tahu dimana sebelumnya kertas ini berada dan tidak juga pernah menemukannya.
*漏网之鱼lòuwǎngzhīyú : Ungkapan sering digunakan sebagai metafora untuk musuh dan penjahat yang lolos secara kebetulan.
Xie Xia tersentak, ia tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. ia tidak pernah memeriksa sebelumnya, apakah buku harian itu lengkap atau tidak. Pemilik asli tidak menulis setiap hari. Jeda waktunya pendek juga singkat, tidak mungkin ia bisa memastikan satu persatu apakah ada bagian yang hilang.
Tangan Xie Xia gemetar menggenggam kertas, jantungnya berdegup kencang dan keras, darah seperti naik mengalir deras menuju kepalanya, pipinya terasa panas dan ujung jemarinya dingin.
Kenapa justru yang satu ini?
Kenapa Xie Hengyu justru melihat yang satu ini?
Beberapa waktu lalu juga, kertas yang berisi kebencian pemilik asli pada Xie Cui jatuh di kaki laki laki itu. Apa semua ini hanya sebuah kebetulan?
Atau jangan-jangan plot cerita memiliki sistem auto-correct? Tidak peduli sekeras apa pun ia berusaha membelokkan jalan cerita, sesuatu akan terjadi dan mengembalikan jalan cerita ke arah seharusnya?
Mungkinkah dirinya memang tidak bisa lolos dari naskah takdir yang sudah ditulis?
Mendadak perasaan putus asa menggenangi hatinya, ia seperti mengalami suasana hati yang sama dengan pemilik asli. Kebuntuan, kecemasan, ketakutan, dan juga ketidakberdayaan. Semuanya membuat rasa empati yang begitu besar muncul di hati Xie Xia untuk pemilik asli.
Selama beberapa saat sekujur tubuhnya kaku dan mati rasa. Ia menarik nafas dalam-dalam, memaksa dirinya untuk tenang -- meski rasanya tidak mungkin.
Tapi, ia tidak boleh menyerah.
Apapun yang terjadi, ia tidak boleh membiarkan Xie Hengyu menghitam.
Berbekal pikiran ini, Xie Xia menaruh kertas separuh itu ke dalam laci dan menguncinya, lalu beranjak pergi mencari Xie Hengyu. Baru saja keluar kamar, ia melihat pemuda itu menarik koper ke depan pintu depan lalu mengganti sepatu, tepat saat itu Xie Cui baru saja pulang dari kerja, "Kau mau pergi kemana?"
"Kembali ke sekolah."
Xie Cui terlihat bingung, "Sekarang? Bukankah seharusnya baru besok kau melapor ke sekolah?"
Xie Hengyu keluar tanpa menengok ke belakang, "Biar urusan cepat selesai."
"Sopir yang mengantarmu?"
"Tidak. Aku menyetir sendiri."
Wajah Xie Cui penuh dengan tanda tanya, "Aku belum pernah melihatmu seantusias ini menyambut datangnya waktu sekolah."