Citra rasanya dibuat benar-benar gila oleh kelakuan Shīna. Apa-apaan dengan wajah tak berdosa yang gadis itu perlihatkan? Seseorang mungkin saja mati, dan itu karena ulahnya, lalu kenapa bisa ia masih bertingkah sesantai itu?
Tak bisa bohong bahwa wanita itu juga merasa tidak terima dengan Shīna yang kembali dengan wajah setengah hancur dan lebam di seluruh tubuh, tapi mengatakan bahwa ia kemungkinan membuat seseorang dalam kondisi hampir mati pun bukanlah suatu hal yang ingin ia dengar. Hanya ... bagaimana mungkin Shīna bisa terjebak dalam kondisi ini?
Sekarang ini mereka berdua sedang ada di rumah sakit. Citra tadinya hanya mampir ke rumah dari shift malamnya untuk mengambil laporan penjualan yang diminta oleh sang owner, tapi ia justru melihat putrinya yang babak belur dan kehujanan.
Mau tak mau hatinya menjerit. Ia menginginkan jawaban dari semua hal yang telah ia lihat. Tapi Citra juga paham bahwa Shīna kesakitan, jadi ia hanya bertanya beberapa hal penting dan segera membawanya ke rumah sakit.
Lebamnya cukup parah, tapi dokter bilang tak ada luka permanen atau kerusakan organ. Shīna hanya perlu banyak beristirahat dan tidak melakukan banyak aktivitas. Obat pereda nyeri, salep, dan perban akan diresepkan. Sekarang ini mereka tengah duduk menunggu obat yang sedang disiapkan.
Setelah diingat-ingat lagi, drama ketika memilih rumah sakit yang dituju pun sangat menguras emosinya. Padahal ada rumah sakit yang jelas lebih dekat. Tapi Shīna memilih lokasi yang lebih jauh hanya karena rekomendasi temannya.
"Ibu." Panggilan Shīna membuyarkan lamunannya, ia kemudian memperlihatkan layar ponselnya kepada sang bunda. "Mana yang menurut Ibu paling cantik?"
Apa yang sedang Shīna perlihatkan sekarang adalah sekumpulan katalog nail art. Citra rasanya sudah tak bisa berkata-kata. Kenapa pula wajahnya terlihat sangat polos dan tak berdosa? Seolah pengakuan yang ia buat beberapa menit yang lalu tak pernah ada.
Suaminya selalu mengingatkannya tentang kondisi mental putrinya yang mungkin saja tidak stabil. Tapi Citra tidak pernah mendengarkan, sejak awal itu semua hanyalah kecurigaan yang tidak berdasar. Masa konsultasi Shīna dengan psikiater telah berakhir cukup lama, apa pula yang harus dikhawatirkan dengan kondisi kejiwaannya? Shīna sehat-sehat saja. Tak ada yang salah. Itu yang selalu Citra pikirkan. Atau lebih tepatnya itu yang selama ini coba dirinya yakinkan.
"Ibu. Jadi bagusan yang mana?" Shīna bertanya ulang, tapi Citra masih tenggelam dalam pikirannya.
Menurut Citra, bahkan walaupun Shīna tidak dalam posisi orang salahnya. Tapi tetap saja jika ada kemungkinan bahwa orang tersebut meninggal, bukankah setidaknya ia harus merasakan sedikit rasa takut?
Perasaan ketika ia tak sengaja mencelakai seseorang, kegugupan, kebingungan, perasaan tak nyaman. Kenapa putrinya justru malah bersikap sebaliknya?
Menyadari pandangan ibunya yang terlihat ketakutan. Shīna akhirnya angkat bicara, "Ibu, yang tadi itu aku cuman bohong, gak ada yang mati." Ia tersenyum, "Lagian mana mungkin aku bunuh orang? Aku cuman bercanda. Kok ibu malah percaya sih?"
Citra memberikan tatapan yang menusuk, "Gayatri, apa kamu sadar sama apa yang kamu ucapin?"
Bukan hanya tentang kebohongan yang gadis itu buat, melainkan pemikiran Shīna yang menggampangkan situasi ini pun sukses membuatnya marah.
"Kalau itu semua bohong, ceritain kejadian yang sebenernya!"
Shīna mengangguk. "Ada laki-laki yang sering bully aku, dia jago bela diri, dan ikut martial art. Baru hari ini aku berani buat lawan dia. Jadi ya gitu ... kita berantem," Shīna kemudian tersenyum pada sang bunda, "dan aku menang."
Citra tertegun.
Oh ....
Begitu ....
Apa benar kejadiannya begitu?!

KAMU SEDANG MEMBACA
FIGURAN
Fiksi Remaja🌹 FIGURAN blurb : Shīna Gayatri bukanlah tokoh utama. Dia, hanyalah seorang figuran ... Melihat tokoh utama wanita yang disiksa, melihat tokoh pria yang berjuang mati-matian untuk si cewek, juga melihat si Antagonis yang selalu membuat masalah. Di...