"Jangan-jangan lu mutusin semua cewe lu demi Hanafi, ya?"
Kalimat tanya sederhana yang dilontarkan oleh Haje berhasil membuat Rano gelisah, ia memikirkannya terus menerus hingga langit berubah gelap dan memasuki waktu tidur. Jika siang tadi ia dengan keras mengatakan tidak, tapi sesuatu dalam dirinya memberontak mengatakan iya.
Entahlah, Rano tidak mengerti. Ia tak pernah merasakan sesuatu seaneh ini sebelumnya. Menurut Rano, cinta itu adalah ketika dia memacari gadis yang cantik dan menarik menurutnya. Jadi, perasaan ini masih abu-abu baginya, terlalu samar untuk dirasakan dan terlalu kasat mata untuk diraba.
Apakah Rano harus menemui dokter cinta untuk menghilangkan kegelisahan hatinya?
Rano duduk di kursi yang tersedia di balkon apartemennya ditemani sebotol Margarita Whiskey dan sekotak rokok yang sudah ia habiskan beberapa batang. Rano menghisap rokonya dalam-dalam sambil menatap kosong jalan raya yang tak memiliki jam tidur, pikirannya berisik, bahkan minuman keras yang sedang ia teguk pun tak mampu meredakannya.
"Huft.." entah ini helaan nafas yang keberapa kalinya dari Rano, yang jelas ia terus menghembuskan nafasnya dengan berat seolah berusaha mengeluarkan banyak hal yang memenuhi otaknya saat ini. Tidak hanya persoalan Hanafi, melainkan semua hal yang selama ini ia abaikan pun ikut termasuk di dalamnya.
Saat ini Rano sedang berada di fase yang paling ia benci, fase di mana batinnya lelah. Ia juga tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi, tapi ingatlah, Rano juga manusia yang memiliki perasaan seperti manusia lain. Semua masalah yang selama ini ia sepelekan demi kelancaran hari-harinya pun kini berkumpul meminta pertanggungjawaban, meminta diselesaikan, meminta air mata yang hingga saat ini tak pernah datang, dan meminta keterpurukan yang selalu Rano hindarkan.
Semuanya bercampur aduk membuat Rano lagi-lagi menyalahkan rokoknya yang entah ke berapa. Dadanya terasa berat dengan leher tercekat.
Ia ingin memiliki rumah yang nyaman sebagai tempatnya melepas lelah, tempatnya berlindung dari semua hal dan tempatnya berbagi kehangatan. Tapi apalah daya anak tunggal yang memiliki orang tua workaholic selain memiliki harta berlimpah.
Rano membuka ponselnya, mencari kontak seseorang yang teramat jarang ia hubungi dan mengirimkan pesan padanya. Ia rindu sosok itu, ingin rasanya berbagi cerita tentang apa yang ia rasakan saat ini, ingin meminta nasihat dan perhatian darinya. Rano bahkan lama tak mendengar suara dan melihat wajahnya, hanya beberapa kata yang terketik di layar ponsel yang menjadi tanda bahwa sosok di sana masih hidup di bumi.
mama
ma, kapan pulang? |
| Kenapa, Rano?
| Uang kamu sudah habis?
| Sudah di transfer papa kamu, ya.
| Sudah ya, saya mau lanjut meeting.
readMembaca balasan pesan dari ibunya, Rano meneguk habis segelas Whiskeynya. Selalu saja begitu, setiap kali Rano menanyakan kabar atau kepulangan kedua orang tuanya, mereka akan selalu membahas uang, uang, dan uang.
Memiliki orang tua yang workaholic tidak sepenuhnya menyenangkan, uang tidak bisa membeli kebahagiaan batin. Terbukti dari Rano yang selama ini selalu berfoya-foya guna menghilangkan perasaan sepi namun tetap saja haus akan kasih sayang. Orang yang membuatnya hadir di bumi seolah menelantarkannya begitu saja hanya dengan uang yang berlimpah tanpa kasih sayang, didikan dan lain sebagainya.
Rano ingin berkomunikasi dengan kedua orang tuanya seperti anak-anak lain, namun rasanya terlalu jauh, bahkan saat mereka bertiga berada di satu ruangan yang sama. Terasa asing dan sulit dijangkau, terbiasa menaruh perhatian pada karir masing-masing dan tidak mempedulikan dirinya yang menjadi bagian dari darah daging mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (3/12/24) #1-leeknow (19/01/25) written by; staylupminsung, 2024.