forty two

2.8K 251 75
                                        

Malam itu, sebuah kafe modern dengan nuansa lawas dan lampu-lampu temaram menjadi saksi pertemuan lima orang sahabat—Rano, Hanafi, Bernad, Chandra, Haje, dan Filix. Ada sesuatu yang perlu dibahas, sesuatu yang baru terungkap kemarin dan membuat Januil merasa harus mengumpulkan mereka di tempat ini.

Haje dan Filix memiliki hubungan.

Bukan rahasia yang sengaja mereka tutupi, tetapi juga bukan sesuatu yang mereka umumkan dengan lantang. Mereka tetap bersikap seperti biasa, ramah kepada semua orang, akrab dengan siapa saja, sehingga orang-orang hanya mengira mereka sekadar teman dekat.

Namun, fakta bahwa mereka sudah bersama cukup lama mengejutkan Januil, dan kini mereka ada di sini untuk membahasnya.

Chandra, yang sejak tadi diam sambil mengaduk kopinya, akhirnya bersuara dengan tatapan tajam mengarah ke Haje. "Jadi, dari kapan kalian pacaran?" tanyanya dengan nada datar, seolah seorang penyidik yang sedang menginterogasi tersangka.

Haje, bukannya merasa terpojok, justru hanya menyeringai bodoh. Ia duduk bersebelahan dengan Filix yang terlihat tenang seperti biasanya, wajahnya tetap polos tanpa sedikit pun rasa bersalah.

"Sejak Rano sama Hanafi berantem," jawab Haje santai, disertai kekehan kecil.

Reaksi dari jawaban itu langsung terasa. Rano menoleh dengan alis terangkat, sementara Hanafi menatap Filix tak percaya. "Lix, kok kamu ga ngomong ke aku sih?" protesnya, seolah merasa dikhianati sahabatnya sendiri.

Filix hanya tertawa kecil, ekspresinya tetap lembut seperti biasa. "Aku tahu waktu itu keadaan kamu lagi ga stabil, jadi sengaja aku diem aja," balasnya tenang.

Hanafi menghela napas panjang, antara kesal dan pasrah. Pantas saja Haje sudah jarang menebar gombalan, ternyata selama ini sudah ada pawangnya.

"Jadi, pas gua sama Hanafi lagi slek, lu malah enak-enakan pacaran?" tanya Rano, menatap Haje dengan ekspresi setengah menuntut.

Haje, yang awalnya memasang wajah tengil, langsung merubah ekspresinya menjadi lebih serius. Ia tahu Rano sedang menggali lebih dalam, dan jika ia tidak segera menjelaskan, mungkin Rano akan membatalkan hadiah yang sudah ia impikan sejak lama itu, yaitu mobil impiannya.

"Ga gitu, bro, gua bisa jelasin," katanya buru-buru. "Gua deket udah agak lamaan dikit lah, ya, kaya seminggu dua mingguan gitu. Tapi kan gua ga denial, ga batu kaya lu. Jadi pas gua ngerasa udah cocok, ya gua tancap gas langsung jadian, gitu…" jelasnya panjang lebar.

Rano mendecak dan memutar bola matanya dengan malas. Sementara itu, Hanafi masih belum puas dengan penjelasan tersebut. "Trus, kalian beneran sering ciuman di parkiran FBS?" tanyanya, matanya menyipit curiga.

Haje yang awalnya masih santai, tiba-tiba terdiam. Ia melirik Filix di sampingnya, seolah bertanya siapa yang memberitahukan hal tersebut pada Hanafi. Namun, Filix malah menatapnya dengan polos sebelum menjawab dengan nada ceria, "Iya, Kak Haje kalo abis anter aku selalu nyempetin ciuman dulu sebelum pergi. Kaya Kak Rano ke kamu kemarin."

Seketika suasana berubah hening.

Bukan hanya Haje yang membeku, tetapi juga Rano dan Hanafi.

Sementara itu, Bernad dan Chandra yang sejak tadi mengamati, kini tampak seperti baru menemukan fakta yang mengguncang hidup mereka. Rahang Bernad jatuh, matanya bergantian menatap Haje dan Rano dengan ekspresi tidak percaya.

"Oh gitu lu berdua?" serunya akhirnya, menunjuk mereka dengan tuduhan tersirat. "Mainnya udah ngelampauin gua?"

Bernad benar-benar tak habis pikir. Ia yang mengajarkan mereka banyak hal tentang hubungan itu, malah merasa tertinggal jauh. Ternyata, dua juniornya ini sudah melangkah lebih jauh tanpa sepengetahuannya.

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang