Pagi itu, sinar matahari menembus celah tirai, menciptakan bias lembut di dalam kamar yang masih diselimuti kehangatan sisa tidur. Jam dinding menunjukkan pukul delapan, dan Hanafi baru saja membuka matanya, membiarkan kesadarannya perlahan kembali ke dunia nyata. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda—kasurnya lebih lapang dari biasanya. Ia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan sosok yang seharusnya berada di sana.
Rano tidak ada.
Hanafi mengusap matanya yang masih berat sebelum akhirnya bangkit, menyeret langkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Air dingin yang membasuh wajahnya sedikit banyak membantu menyegarkan pikirannya, meski tetap ada sedikit rasa kosong di kasur yang tadi ia tinggalkan.
Keluar dari kamar, ia langsung disambut pemandangan yang cukup familiar—Rano, dengan kaus putih tipis dan celana pendek santainya, sedang sibuk memilah pakaian di ruang tengah. Beberapa tumpukan baju sudah rapi di dalam tas, sementara beberapa lainnya, terutama pakaian dalam, terlihat masih menunggu di dalam keranjang untuk dicuci secara terpisah.
"Kak? Ngapain?" suara Hanafi masih terdengar serak, sisa dari tidurnya yang baru saja usai.
Rano, yang awalnya sibuk menunduk, mengangkat kepalanya dengan senyum kecil. "Mai dianter ke laundry, sayang. Sisanya mau kakak cuci sendiri," jawabnya ringan.
Hanafi mengerutkan kening, sedikit tak enak hati. "Biar aku aja—"
"Kamu istirahat aja," potong Rano sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. "Tinggal ini doang kok, piring sama sampah udah kakak beresin dari pagi tadi," lanjutnya.
Hanafi diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, memilih untuk menurut meskipun dalam hati ia merasa seharusnya ia juga melakukan sesuatu. Ia berjalan ke arah dapur dengan niat mengambil air, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu yang baru.
Tirai jendela.
Ia mengerutkan alis dan mendekat, memperhatikan kain yang menggantung indah di sana. Warna biru langitnya begitu lembut, berpadu sempurna dengan tirai tipis putih di belakangnya, memberikan kesan mahal dan elegan pada ruangan.
"Kakak ganti gordennya, ya?" Hanafi bertanya, meskipun nadanya lebih terdengar seperti sebuah tebakan.
Rano terkekeh, menutup resleting tas laundry-nya sebelum mendekati Hanafi. "Iya, kakak kira kamu ga bakal nyadar. Gimana? Suka ga?" tanyanya, mata teduhnya menatap penuh harap.
Hanafi mengulurkan tangan, meraba kain lembut itu sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Suka. Cantik," ucapnya jujur, matanya berbinang saat menelusuri detailnya.
Rano tersenyum puas, melipat tangannya di depan dada. "Iya dong, kakak emang ga pernah salah pilih kalau buat yang cantik-cantik. Kayak kamu," ujarnya santai.
Hanafi spontan bergidik geli, wajahnya sedikit memerah, tetapi ia pura-pura tidak peduli. Rano tertawa lepas melihat reaksinya yang selalu menggemaskan di matanya.
"Udah sana ke dapur," ujar Rano, masih dengan senyum menggoda. "Kakak udah beliin sarapan sama kopi anget buat kamu. Kakak pergi dulu ya, ke laundry. Bye, sayang."
Sebelum Hanafi sempat membalas, Rano sudah lebih dulu melangkah ke luar, membawa tas berisi pakaian kotor.
Hanafi hanya bisa menghela napas kecil, tersenyum tanpa sadar sebelum akhirnya duduk di meja makan. Tangannya meraih sarapan yang sudah tertata rapi, sementara secangkir kopi masih mengepulkan uap hangatnya di sampingnya.
Sambil mengunyah, pikirannya melayang.
Hidup bersama Rano ternyata jauh lebih menyenangkan dari yang pernah ia bayangkan. Tak ada beban, tak ada keraguan—hanya kenyamanan yang mengalir alami. Rano bukan tipe yang hanya bicara manis, ia selalu menunjukkan cintanya lewat tindakan nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-straykids (14/04/25) #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (03/12/24) #1-leeknow (19/01/25) #1-han (08/03/25) #1-lokal (30/04/25) written by; staylupminsung, 2024.
