Pagi itu, matahari akhir pekan memancarkan cahaya lembut yang hangat, seolah turut merayakan sesuatu yang berbeda dari biasanya. Udara terasa segar, namun suasana di balkon kamar Hanafi lebih hangat dari sekadar sinar matahari. Dua hati yang telah resmi menyatu semalam mengubah suasana pagi menjadi sesuatu yang istimewa—penuh keheningan manis dan kenangan yang melekat.
Rano, yang terbangun lebih dulu, tersenyum kecil sambil melirik ke arah Hanafi yang masih tertidur pulas dan balkon bergiliran. Ingatannya kembali pada malam tadi, sebuah malam yang tidak hanya mengikat hati mereka lebih erat tetapi juga menyatukan tubuh mereka dalam cara yang baru dan intim. Ia masih bisa merasakan hangatnya genggaman Hanafi, desahan lembutnya, dan mata yang menatapnya dengan penuh kepercayaan. Bukan sekadar hubungan fisik, tapi perasaan yang mendalam membuat semua itu terasa berbeda.
Tanpa ingin membangunkan Hanafi yang masih tertidur lelap, Rano beranjak keluar kamar dengan langkah hati-hati. Ia mulai membersihkan sisa-sisa "jejak" malam itu—lantai balkon yang menjadi saksi kebahagiaan mereka, pakaian yang berserakan tanpa aturan, semua dirapikannya dengan telaten. Tangannya bekerja cekatan, tapi pikirannya terus melayang.
Senyum itu tak pernah hilang dari wajahnya sepanjang ia bekerja. Rasanya nyaris mustahil untuk menyembunyikan kebahagiaannya. Biasanya, apa yang terjadi semalam hanyalah urusan biasa bagi Rano—sekadar memenuhi nafsu, tanpa ikatan, tanpa arti. Namun, kali ini berbeda. Bersama Hanafi, semuanya terasa penuh makna. Ia tidak ingin melupakan apa pun; setiap detail menjadi memori yang ingin ia simpan selamanya.
Ketika lantai balkon sudah bersih dan pakaian telah tersusun rapi, Rano menghela napas panjang, puas dengan hasil kerjanya. Ia menatap langit pagi sejenak, lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Air dingin yang mengalir di tubuhnya memberikan energi baru, tapi tidak mampu mendinginkan perasaan hangat yang terus membara di hatinya.
Setelah itu, Rano menuju dapur yang sudah lama tidak ia sentuh. Kehadirannya di sana terasa sedikit canggung, namun ada dorongan kuat yang membuatnya ingin mencoba. "Harus yang spesial," gumamnya sambil membuka lemari dan memeriksa bahan makanan yang tersedia. Tangannya mulai sibuk mengolah sarapan sederhana, tapi penuh perhatian. Setiap langkahnya di dapur adalah bukti kecil dari perasaan yang semakin kuat—perasaan ingin membuat Hanafi bahagia, bahkan melalui hal-hal kecil seperti ini.
Sambil menunggu sarapan matang, pikiran Rano kembali pada wajah Hanafi yang tertidur nyenyak. "Lu selalu bikin gua pengen jadi orang yang lebih baik, Han," bisiknya pada dirinya sendiri. Tangan kokohnya mengaduk-aduk wajan, tapi hatinya terus memutar kembali ingatan semalam—momen ketika Hanafi menerima perasaannya tanpa ragu, dengan senyum tulus yang begitu cantik di bawah cahaya malam.
Pagi ini, tidak ada yang lebih sempurna dari kebersamaan mereka. Bagi Rano, cinta yang baru mereka mulai ini adalah perjalanan panjang yang ia tahu ingin terus ia jalani, satu langkah demi langkah, bersama Hanafi.
Saat sarapan sederhana itu hampir selesai, aroma harum menyebar memenuhi dapur kecil yang jarang digunakan itu. Rano menata semuanya di atas nampan—dua piring nasi goreng dengan taburan irisan telur dadar dan bawang goreng, ditemani segelas jus jeruk segar. Meski bukan masakan yang rumit, ia merasa puas melihat hasil tangannya sendiri. "Cukup buat bikin dia senyum pagi ini," gumamnya sambil membawa nampan itu menuju kamar.
Pintu kamar sedikit terbuka, dan Rano mengintip ke dalam. Hanafi masih meringkuk di bawah selimut, wajahnya yang tenang seperti malaikat kecil membuat hati Rano berdebar. Ia meletakkan nampan di meja samping ranjang, lalu duduk di tepi tempat tidur. Dengan hati-hati, ia menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Hanafi.
"Han.. bangun, sayang. Sarapannya udah siap," bisiknya lembut di dekat telinga Hanafi.
Hanafi bergumam pelan, matanya masih setengah terpejam. "Hmm.. udah jam berapa, Kak?" tanyanya dengan suara serak khas baru bangun tidur, tanpa membuka matanya sepenuhnya. Rano tertawa kecil, geli melihat Hanafi yang terlihat masih malas beranjak.
"Masih pagi, tenang aja. Tapi gua udah bikinin sarapan spesial buat lu," ujar Rano sambil menyenggol pelan bahu Hanafi.
Hanafi akhirnya membuka matanya, menatap Rano dengan tatapan bingung yang bercampur kantuk. Namun, begitu aroma nasi goreng menyeruak, ia langsung duduk dengan mata berbinar. "Seriusan?" tanyanya, seolah tak percaya.
"Seriuslah. Gua kan pacar lu sekarang. Masa gua biarin pacar gua ga sarapan sih," jawab Rano dengan senyum penuh arti.
Hanafi tertawa kecil sambil menggosok-gosok matanya. "Widih, gua beruntung banget nih punya pacar kaya lu," ujarnya polos. Ucapan itu membuat Rano berhenti sejenak, menatap Hanafi yang terlihat begitu jujur dan tulus. Hatinya terasa hangat mendengar kata-kata sederhana itu.
"Ayo, kita sarapan bareng," ajak Rano, menyerahkan piring nasi goreng ke tangan Hanafi. Mereka duduk berdampingan di atas ranjang, menikmati sarapan pagi itu dengan suasana yang begitu hangat dan santai. Sesekali, Hanafi tersenyum sambil mencuri pandang ke arah Rano, yang terlihat begitu menikmati setiap suapan.
"Gua kira lu cuma bisa beli makanan di luar, Kak. Ternyata enak juga, ya," komentar Hanafi sambil menyuap nasi gorengnya.
"Ya gua belajar, dong. Semua demi lu," balas Rano sambil terkekeh, lalu meraih segelas jus jeruknya. "Tapi jangan berharap gua bakal sering-sering masak. Ini kan spesial buat pagi ini aja."
Hanafi mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya elah, ini aja udah seneng banget, kok. Makasih, Kak."
Setelah sarapan selesai, mereka duduk santai di balkon, menikmati semilir angin pagi. Hanafi bersandar pada bahu Rano, matanya menatap langit biru yang cerah. "Kak," panggilnya pelan.
"Hmm?" sahut Rano, menoleh sedikit ke arah Hanafi.
"Menurut lu, kita bisa kayak gini terus, ga?" tanyanya, suara lembutnya menyiratkan keraguan kecil yang terlintas di pikirannya.
Rano menggenggam tangan Hanafi yang ada di pangkuannya. "Kita bisa, Han. Selama lu ada di samping gua, gua bakal terus bikin semuanya baik-baik aja. Lu percaya sama gua, kan?" jawabnya serius, tatapannya menelusuri wajah Hanafi yang tampak memerah.
Hanafi hanya mengangguk pelan, lalu menyembunyikan wajahnya di bahu Rano. Saat itu, mereka tahu, pagi yang sederhana ini adalah awal dari banyak momen indah yang akan mereka jalani bersama.
-
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-straykids (14/04/25) #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (03/12/24) #1-leeknow (19/01/25) #1-han (08/03/25) #1-lokal (30/04/25) written by; staylupminsung, 2024.
