"Tapi, Han, gua beneran pengen entot lu sampe mentok kalo liat lu lagi masak di dapur." ujar Rano jujur, Hanafi tertawa sebelum mendekatkan bibirnya pada telinga Rano, "Gua juga pengen dientot dari belakang sama lu kak, trus tar kaki gua naik ke atas pantry." bisiknya sensual dengan tawa di akhir kalimatnya. Rano memejamkan matanya erat-erat sembari menggeram kecil, kalimat-kalimat kotor Hanafi selalu berhasil membuat dirinya tegang sempurna.
"Tar kalo gua entot jangan nangis—"
Tak!
"Akh!" ringis Rano saat merasa dahinya disentil keras, Rano membuka matanya perlahan dan dapat ia lihat Hanafi berdiri di sebelahnya seraya berkacak pinggang dengan wajah yang tampak kesal. "Han?" ujarnya bingung.
"Bangun juga lu, gua kira kaga mau bangun lagi. Liat tuh jam berapa? katanya minta bangunin jam 9, ini udah jam 12 belom juga bangun. Dasar kebo, udah ah gua mau keluar mau kerkom. Jangan tidur lagi, Kak!" omel Hanafi panjang lebar meninggalkan Rano di kamar mereka seorang diri dengan wajah penuh kebingungan.
Setelah beberapa menit melamun akhirnya dengan cepat Rano menyibak selimutnya dan melihat ke arah bagian selatannya yang sudah basah dengan cairan miliknya.
"Sialan, ternyata cuma mimpi?!"
-
Saat ini Rano sedang menjalani kelasnya, di depan sana ada dosen yang tengah menjelaskan teori yang akan mereka praktekkan dua minggu lagi. Namun bukannya memperhatikan penjelasan di depan sana ia malah melamun menatap buku catatan miliknya di atas meja, pikirannya terus melayang ke mimpinya itu, mimpi terbaik sepanjang masa katanya.
"Anjing, masa iya sih cok cuma mimpi?" gumamnya masih tak percaya.
"Pantesan binal padahal katanya first time." lanjutnya dengan senyum mesum saat mengingat bagaimana Hanafi saat bergerak di atas pangkuannya. Ah, Rano jadi bertekad untuk mewujudkan mimpinya itu. Kata orang, mimpi itu harus diusahakan agar terwujud, 'kan? maka dari itu Rano akan berusaha mewujudkannya mulai sekarang.
Oh ya, omong-omong soal di mana Rano yang melecehi Hanafi kala ia tidur itu juga bagian dari mimpinya. Sebab di dunia nyata Rano bukan tipikal yang akan bermain tanpa consent, “not my style” katanya. Rano lebih suka saat mereka melakukannya secara sadar agar ia bisa melihat reaksi tubuh dari sang lawan atas permainannya.
Rano melirik ke bawah, melihat kejantanannya yang menegang di balik celana hanya karena memikirkan Hanafi dan kebinalannya. "Sabar ya burung, gua lagi usahain sarang limited edition buat kita berdua." ucapnya pada si kebanggaan. Untungnya tidak ada yang memperhatikan dirinya saat ini, jika tidak mungkin Rano sudah di cap orang gila oleh teman kelasnya.
-
"Bro!" seru Haje dari tempatnya duduk kepada Rano yang baru memasuki Warung Berkah dengan tas ransel yang disandang sebelah bahu dan jalannya yang petangang-petenteng itu. Wajah songongnya yang sialnya tampan itu juga menjadi pusat perhatian beberapa mahasiswi yang memang sedang berbelanja di sana, jangan heran dengan hal itu tapi heranlah karena Rano tidak lagi tebar pesona pada mahasiswi di kampusnya, padahal dulu jika ada mahasiswi di sekitarnya maka Rano akan dengan terang-terangan mengeluarkan jurus buaya kelas kakapnya itu. Ya, kurang lebih seperti Haje.
"Yo, sorry lama. Bahas uprak buat mingdep dulu tadi." ucapnya setelah tiba di meja yang dikelilingi teman-temannya. Rano ikut duduk dan memesan minuman lalu berbincang santai seperti biasanya, tapi semakin lama mereka mengobrol topiknya semakin mengarah pada Hanafi.
"Jadi, lu udah fix tuh naksir sama Hanafi?" tanya Chandra memastikan. Rano mengangguk dengan ragu, ia tidak tau perasannya itu bisa disebut naksir atau tidak, yang ia tau ia menyukai pemuda satu itu. "Mungkin." balasnya abu-abu. Bernad berdecak, "Ah lu mah, No. Gitu doang segala pake mungkin, laki tuh ga boleh samar-samar gitu, kalo suka bilang suka, kalo engga ya engga." katanya.
"Lah, kan gua sama dia sama-sama laki?"
"Ya kan lu dominannya, setan!" kesal Bernad. Rano mengangguk-anggukan kepalanya dengan wajah rese, ingin rasanya Bernad melemparkan kerupuk palembang yang sedang ia makan ke arah Rano, tapi niatnya itu ia urungkan sebab makanan tidak boleh dijadikan mainan.
"By the way, lu ke kampus sendiri, No?" tanya Haje yang berniat menebeng untuk pulang. Ia sedang malas mengendarai mobil atau motornya sendirian, tadi siang ia berangkat bersama Bernad tetapi Bernad akan pulang bersama degemannya, katanya. Jadi mau tidak mau Haje harus mencari tumpangan pulang lain agar tidak menjadi nyamuk nantinya.
"Kaga, sama Hanafi, tar dia ke sini kalo udah mau pulang." balas Rano.
"Gua ikut, ya."
"Ngapain?"
"Nebeng doang anjing, gitu amat lu ama temen. Jangan sampe lupa temen lu cuma gara-gara gebetan."
"Emang lu temen gua?"
Dengan dramatis Haje segera menutup mulutnya tak percaya mendengar penuturan Rano, tak ia sangka pemuda yang sudah berteman lama dengannya berucap seperti itu setelah mengenal orang baru yang lebih imut dari dirinya. "N-no, gua ga expect lu begitu, No." ucapnya terbata. Chandra dan Bernad hanya tertawa menonton drama antar Tom & Jerry mereka, hal seperti ini sudah biasa dan kerap dilakukan tanpa memandang tempat karena Haje yang hampir tidak memiliki urat malu dan Rano yang sumbu pendek akan terus meladeninya.
"Persahabatan kita selama ini ternyata ga pernah lu anggep, perjuangan gua selama ini ternyata ga pernah keliatan di mata lu, pengorbanan gua, No.." lanjutnya.
Rano berdiri dari duduknya, "Asal lu tau, gua begini juga karena lu begitu, Je. Jangan lu pikir gua bego, lu ga inget, lu pernah ninggalin gua sendiri di warung bakso mang Adi karna liat gebetan lu lewat? lu ninggalin gua di sana demi tu cewe!" balas Rano tak kalah dramatis. Ia berdecak seraya berkacak pinggang, setelahnya Haje ikut berdiri dari duduknya, "Itu karna lu sibuk ngerdusin anaknya mang Adi, sialan!" balas Haje membongkar cerita sebenarnya.
Bernad terpingkal mendengar pernyataan Haje, pemuda itu memang pernah berkeluh kesah di grup chat mereka mengenai ia yang pergi makan bakso berdua dengan Rano namun berakhir tak dihiraukan pemuda satu itu sebab ia sibuk menggombali anak si penjual bakso yang memiliki body aduhai. Oleh sebab itu Haje pergi meninggalkan Rano seorang diri dengan alasan ia mau menyusul gebetannya yang baru saja lewat.
"Udah ah anjing, malu gua." Chandra menarik pelan jaket Rano dan Haje bersamaan menginterupsi keduanya untuk kembali duduk dan menyudahi drama tersebut. Keduanya memang tidak memiliki rasa malu tapi Chandra yang malu atas tingkah laku mereka, tidakkah mereka sadari jika perhatian seisi warung kini berpusat pada keduanya.
"Maaf ya ganggu waktunya, temen saya emang rada-rada." ujar Chandra pada pengunjung lainnya dengan kepalanya yang mengangguk sungkan.
"Lu sih!" ucap Rano pada Haje. Haje mencibir kecil mendengar Rano menyalahkan dirinya, padahal mereka sama saja tapi Rano tidak pernah mau disalahkan. Keempat pemuda itu kembali ke topik awal mengenai Rano dan Hanafi yang masih di ambang keyakinan, mereka juga ikut bingung sebab tidak pernah tau bagaimana perspektif Hanafi mengenai hal ini, tapi tidak mungkin juga ditanyakan karena akan terkesan sangat aneh.
"Eh-No, lu udah kasih tau Hanafi belom soal dia yang dijadiin bahan taruhan?"
"Taruhan apaan, Kak?"
-
tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (3/12/24) #1-leeknow (19/01/25) written by; staylupminsung, 2024.