thirty eight

1.2K 167 55
                                    

Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya, bukan hanya karena sinar matahari yang mulai merambat masuk melalui celah tirai, tetapi juga karena kehadiran seseorang yang begitu dekat-begitu nyata-dalam pelukan.

Hanafi terbangun lebih dulu, kelopak matanya masih terasa berat, namun senyum kecil segera menghiasi wajahnya saat ia menyadari di mana dirinya berada. Lengan kekar yang melingkari pinggangnya, dada bidang yang terasa hangat di punggungnya semua itu milik Rano, yang masih terlelap dengan napas teratur.

"Kak, bangun," panggil Hanafi pelan.

Rano hanya menggumam kecil tanpa membuka mata, lalu tanpa peringatan, lengannya justru menarik Hanafi lebih erat, membuat mereka. semakin tenggelam dalam kehangatan selimut.

Hanafi tertawa kecil. "Bangun, Kak, ngampus. Jangan bolos," ucapnya sambil berusaha melepaskan diri, namun usaha itu sia-sia ketika Rano semakin menenggelamkan wajahnya di lehernya, seolah enggan melepaskan.

"Ga mau ngampus, mau sama lu aja di sini," balasnya dengan nada malas, suara serak khas orang baru bangun terdengar lebih dalam dari biasanya.

Hanafi menghela napas panjang, tapi tetap saja bibirnya melengkung dalam senyum yang tak bisa ia tahan. "Ga bisa gitu dong, gua juga mau ngampus ini. Udah, buruan bangun," ujarnya sambil menarik pelan tubuh Rano, memaksanya untuk duduk.

Rano akhirnya menurut dengan berat hati. la bersandar pada punggung kasur, kedua matanya masih setengah tertutup, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang masih enggan kembali sepenuhnya. Namun, meskipun masih terasa malas, ada satu hal yang tetap mampu membuatnya terjaga sepenuhnya-pemandangan di depannya.

Hanafi.

Manik tajamnya tak lepas dari sosok yang duduk di sisi ranjang, rambut berantakan dan mata cokelatnya yang masih menyisakan kantuk justru membuatnya terlihat semakin manis. Tanpa sadar, senyum lembut terukir di wajah Rano, tatapan matanya seolah sedang mengukir setiap inci dari pemuda itu dalam ingatannya.

"I love you," ucapnya tiba-tiba.

Hanafi yang tengah sibuk merapikan rambutnya sontak menoleh, lalu mendengus geli meskipun ia tahu dadanya kini terasa begitu penuh. "Apa sih, Kak," balasnya, berusaha menyembunyikan kesalahtingkahannya.

Namun, Rano tidak puas hanya dengan jawaban itu. la menyeringai tipis, tubuhnya sedikit condong ke depan. "I love you, sayangnya kakak," katanya lagi, kali ini lebih lirih, lebih tulus, dan lebih dalam dari sebelumnya.

Hanafi menelan ludah. la bisa merasakan sensasi aneh yang menggelitik dadanya, kehangatan yang menyebar begitu saja, lalu rasa panas yang mulai menjalar ke pipinya. Dengan cepat, ia mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk dengan sesuatu yang sebenarnya tak ada. "Sana mandi, Kak!" ucapnya cepat, berharap Rano tidak menyadari kegugupannya.

Rano terkekeh pelan, tapi akhirnya mengangguk pasrah. "lya, iya, ini mandi," ujarnya, sebelum bangkit dari tempat tidur.

Namun, tentu saja, Rano tidak akan melewatkan kesempatan begitu saja. Sebelum benar-benar pergi, ia mencondongkan tubuhnya lagi, wajahnya mendekat begitu cepat hingga Hanafi tak sempat menghindar-dan dalam satu gerakan, ia mencuri kecupan singkat di bibir pemuda itu.

Hanafi membelalak, terkejut, namun sebelum ia sempat membalas dengan omelan, Rano sudah melesat ke kamar mandi dengan langkah cepat.

"Ish, Kak Rano!" pekiknya, pura-pura kesal, meskipun jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya.

-

Pagi itu, matahari bersinar hangat, menyinari perjalanan Rano dan Hanafi yang berboncengan menuju kampus. Udara masih sejuk, sesekali angin pagi menyapu lembut rambut mereka. Setelah singgah sebentar ke apartemen Rano untuk berganti pakaian, keduanya kembali melaju, menikmati kebersamaan yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih ringan, lebih nyaman, lebih bermakna.

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh tiga puluh. Masih ada sedikit ruang sebelum kelas pertama dimulai. Alih-alih langsung menuju kampus, Rano membelokkan motornya ke sebuah tempat yang sudah terlalu akrab di benaknya—Warung Berkah. Tempat itu bukan sekadar warung makan sederhana, melainkan saksi bisu perjalanan panjang antara dirinya dan Hanafi.

Di sana, Bernad, Chandra, dan Haje sudah lebih dulu duduk, seperti biasa menikmati pagi mereka dengan obrolan ringan. Namun hari ini berbeda. Hari ini, Rano datang dengan tujuan—untuk meluruskan segalanya.

Mereka duduk bersama, ada sedikit kecanggungan yang tersisa dari insiden kemarin, tapi Rano tak ingin membiarkan hal itu berlarut-larut. Dengan suara mantap, ia membuka pembicaraan.

"Han, gua sengaja bawa lu ke sini dulu buat ngelurusin semuanya soal kemarin. Dan buat lu pada, gua udah baikan sama Hanafi dan juga udah..." kata Rano, sengaja menggantung kalimatnya.

Tiga pasang mata menatapnya penuh tanda tanya. Ada banyak kemungkinan yang berputar di kepala mereka, tapi mereka tetap menunggu kelanjutan kalimat Rano dengan sabar.

"Udah...?" tanya Haje, tak sabar ingin tahu.

Rano menghembuskan napas ringan, lalu dengan percaya diri ia berkata, "Jadian."

Bernad, Chandra, dan Haje terdiam sejenak. Seolah otak mereka perlu beberapa detik untuk memproses kata yang baru saja keluar dari mulut Rano. Namun begitu kenyataan menghantam mereka, reaksi mereka pecah seketika.

"HAH?!"

Seruan mereka nyaris membuat seisi warung menoleh. Hanafi yang sejak tadi menunduk hanya bisa semakin menekuk wajahnya, pipinya terasa lebih panas dari biasanya. Namun, sebelum ia sempat bersembunyi lebih jauh dalam rasa malunya, Haje sudah berdiri di atas kursi, bersiap mengumumkan hal ini ke seluruh dunia.

"Woi! Lu semua harus tau! Rano udah jadian sama Hanafi! Jangan ada yang berani ganggu mereka!" teriaknya lantang.

Suasana warung mendadak riuh. Beberapa orang menoleh, sebagian tertawa, sebagian lagi bersorak menggoda. Hanafi hampir bisa merasakan jiwanya melayang karena malu.

"Je! Turun, brengsek! Malu-maluin aja!" seru Bernad sambil menarik lengan Haje agar turun dari kursinya.

Haje, bukannya merasa bersalah, malah cengengesan, "Hehehe, sesekali boleh lah!" ujarnya, masih dengan wajah penuh kepuasan.

Di tengah kehebohan itu, Chandra menatap Hanafi dengan senyum tulus. "Gua seneng dengernya kalau lu berdua udah jadian. Dan juga, untuk yang kemarin, kita minta maaf sebesar-besarnya ya, Han."

Hanafi menatap mereka satu per satu, lalu mengangguk. Tak ada lagi rasa sakit atau marah di hatinya, hanya kelegaan karena segalanya telah berlalu. "Iya, Kak. Jangan diulangin lagi ya, hal kayak gitu bisa merugikan orang lain."

Chandra mengangguk mantap, sementara Bernad dan Haje juga ikut menjabat tangan Hanafi sebagai tanda permintaan maaf mereka. Segala yang sempat kusut kini perlahan lurus kembali, seperti pagi yang berganti dengan cerahnya siang.

Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Haje, dengan wajah isengnya yang khas, menyenggol lengan Rano.

"Oh iya, by the way, karena lu berdua udah jadian, boleh dong pajak jadiannya? Gua mau mobil baru, No."

-

tbc

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang