thirty two

2.6K 291 65
                                        

Malam itu, keheningan di apartemen Hanafi hanya dipecahkan oleh suara rintik hujan yang menempel di kaca jendelanya. Ia tengah menyibukkan diri dengan tugas kuliah yang menumpuk, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekosongan yang terus menggerogoti. Buku catatan terbuka di meja, sementara layar laptopnya menampilkan dokumen penuh angka dan diagram yang harus ia selesaikan. Namun, sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya terhenti.

Saat ia membuka pintu, seorang kurir berdiri di sana dengan kantong kertas yang dipenuhi aroma makanan hangat. "Pesanan atas nama Hanafi," ujar sang kurir sebelum menyerahkan kantong itu.

Hanafi mengernyit. Ia tidak memesan apa pun malam ini. Tapi, ketika ia melihat nama pengirim di struk yang terlampir, napasnya tertahan. Rano.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia membawa makanan itu ke meja, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di sofa. Sebuah pesan baru muncul, pesan yang langsung dikenalnya tanpa perlu berpikir dua kali.

"Malem, Han. Gua barusan ngirim makanan dan kayanya sekarang udah nyampe. Tolong dimakan ya."

Hanafi menatap layar ponselnya cukup lama, jantungnya berdegup tak karuan. Pesan itu sederhana, tanpa embel-embel basa-basi atau drama, tapi justru di sanalah letak kepedulian Rano yang selama ini selalu membuatnya nyaman. Di balik kalimat singkat itu, Hanafi tahu ada sebuah perhatian yang tulus, sebuah usaha untuk mendekatinya lagi meski dalam diam.

Ia membuka kantong kertas itu perlahan, mendapati makanan kesukaannya di dalamnya—dimsum spesial dengan isian lobster  yang selalu Rano belikan untuknya saat ia merajuk atau marah sebagai bujukan. Aroma itu, rasa itu, semuanya seakan membawa Hanafi kembali ke masa-masa di mana mereka sering duduk berdua di balkon kamar, berbagi makanan sambil bercanda tentang hal-hal yang tak penting.

Dan kini, kenangan itu kembali menghantamnya dengan keras. Wajah Rano, tawa Rano, bahkan caranya memanggil nama Hanafi dengan nada malas tapi penuh kehangatan, semuanya memenuhi benaknya. Rindu itu, yang ia kira bisa ia pendam, kini menjelma badai yang mengguncang hatinya tanpa ampun.

Hanafi memejamkan mata, menelan emosi yang kian menumpuk di dadanya. Tangan kirinya meraih sumpit, sementara tangan kanannya dengan enggan menekan ikon pesan balasan di layar ponselnya. Ia mengetik sesuatu, namun jari-jarinya berhenti di tengah jalan.

Apa yang harus ia katakan? Bahwa ia merindukan Rano? Bahwa makanan ini mengingatkannya pada semua yang pernah mereka lewati? Atau bahwa ia ingin kembali ke masa di mana semuanya terasa begitu sederhana?

Hanafi hanya mendesah pelan, lalu meletakkan ponselnya kembali di meja. Malam itu, ia makan dalam diam, membiarkan rasa rindu yang tak terucap itu mengalir bersamaan dengan gigitan pertama, sementara pesan Rano masih tergantung di layar—belum dibalas, tapi terus menghantui.

Semakin malam, Hanafi juga semakin tersadar akan perasaannya selama ini—ia mengira semua ini hanya bentuk dari keterbiasaannya terhadap kehadiran Rano, namun nyatanya ada perasaan lain yang ikut campur di dalamnya.

Di sisi lain, Rano duduk di meja belajarnya, berusaha fokus pada lembaran kertas laporan praktikum tebal yang terbuka di depannya. Namun, pikirannya melayang, kembali ke wajah Hanafi yang terakhir kali ia lihat di kantin. Senyum itu, tawa itu, kini hanya bisa ia bayangkan. Ia menggenggam ponselnya erat, menatap layar yang masih menampilkan pesan terakhirnya untuk Hanafi.

"Gua tau dia cuma baca doang," gumamnya pelan, mencoba menenangkan harapan yang mulai tumbuh di dadanya. Tapi tetap saja, ada sedikit harapan—sebuah keinginan sederhana agar pesan itu berbuah balasan, walau hanya sepatah kata.

Setengah jam berlalu dalam sunyi, kecuali bunyi detik jam dinding yang terasa lebih lambat dari biasanya. Rano mulai menyerah pada harapannya, tapi tepat ketika ia hendak meletakkan ponsel, getar singkat menggema di telapak tangannya.

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang