thirty three

867 183 85
                                    

Malam itu, udara terasa dingin menusuk, namun Rano tak menghiraukannya. Ia berdiri di depan pintu rumah Hanafi, menatap pintu putih itu dengan campuran rasa cemas dan tekad. Langkah kakinya berat, namun hatinya jauh lebih berat. Ia sengaja memarkirkan motornya agak jauh, menyembunyikan kehadirannya seolah takut ketahuan. Ia bahkan tak tahu apa yang menantinya di balik pintu itu, tapi satu harapan kecil menari di pikirannya: semoga bukan Rino yang ada di dalam.

Tangannya terangkat, mengetuk pintu dengan hati-hati, tok tok tok. Ia berdiri sedikit menyamping, menghindari pandangan dari jendela, berjaga-jaga kalau Hanafi memilih untuk tidak membukakan pintu. Detik-detik terasa melambat, hingga akhirnya pintu itu berderit terbuka, dan di ambangnya berdiri sosok yang ia rindukan lebih dari apapun.

"K-kak?" suara Hanafi terdengar terbata, matanya melebar dalam keterkejutan.

Rano hanya tersenyum, senyum kecil yang mengandung beban berat. Ia tak memberi kesempatan bagi Hanafi untuk berpikir lebih jauh. Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam rumah tanpa permisi, menutup pintu di belakangnya seolah ingin mengunci dunia hanya untuk mereka berdua.

"Han.." ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, suaranya menggetarkan malam yang hening.

Sebelum kata lain bisa terucap, Rano menarik Hanafi ke dalam pelukannya. Tangannya erat melingkari tubuh itu, mendekapnya seolah takut kehilangan lagi. Ia menunduk, membiarkan air mata yang telah lama ia tahan jatuh, membasahi puncak kepala Hanafi. Pelukan itu penuh penyesalan, penuh keinginan untuk memperbaiki semuanya.

Hanafi terpaku, tubuhnya kaku dalam kehangatan yang mendadak ini. Ia terkejut, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun, hatinya yang selama ini mencoba bertahan dari luka perlahan mulai meleleh.

"Kak Rano..." cicitnya pelan, tangannya terangkat ragu sebelum akhirnya membalas pelukan itu. Saat itulah ia mendengar suara isakan kecil dari lelaki yang lebih tua darinya. Suara yang membuat hatinya bergetar hebat, nyeri sekaligus hangat.

Rano melonggarkan pelukannya sedikit, cukup untuk menatap wajah Hanafi dari dekat. Matanya yang sembab menatap penuh permohonan. "Han.. maafin gua," ucapnya hampir tak terdengar sebab terendam tangis.

Hanafi menatapnya dalam diam. Melihat Rano, yang selama ini ia kenal sebagai sosok kuat dan tangguh, menangis di depannya, membuat hatinya terasa diremas-remas. "Kak, everything okay?" tanyanya lirih, masih berusaha mencari penjelasan di balik emosi ini. Ia ragu tentang apa yang membuat Rano terisak di dalam tangisnya malam ini, ia mengira ada dorongan lain yang membuat Rano mendatanginya malam ini.

Rano menggeleng, kepalanya tertunduk dalam. "Engga, Han. Semuanya ga pernah baik-baik aja semenjak lu pergi."

Hanafi terdiam. Kata-kata itu menghujam hatinya seperti ribuan anak panah. Ia tahu ia adalah penyebab rasa sakit ini, dan entah bagaimana, hatinya ikut merasakan luka yang sama. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang tembam. "Kak, jangan gini..." ucapnya bergetar, mencoba menenangkan.

Bohong jika Hanafi tidak merindukan Rano. Ada rasa rindu yang begitu dalam, mendera setiap sudut hatinya, seakan ingin pecah oleh kenangan-kenangan yang terus terputar tanpa henti. Ia juga menginginkan Rano. Namun, keberanian yang dulu menjadi pesona Rano kini memudar, digantikan oleh sikap pengecut yang membuat Hanafi memilih menjauh. Jarak yang kini terbentang di antara mereka bukan hanya soal ruang, tetapi juga luka.

Namun, setiap kali ia melihat tatapan putus asa Rano, hatinya ikut hancur. Sakit itu datang, menghantam dengan keras, memaksanya bertanya-tanya apakah memberi jarak ini benar-benar keputusan yang bijak atau hanya cara lain untuk menyiksa dirinya sendiri.

"Han, gua ga bisa.." suara Rano terdengar lagi, lebih putus asa. "Gua ga bisa tanpa lu. I love you, Han. I love you more than anything. Gua.. gua salah karena denial, gua salah karena telat sadar. Tapi gua ga mau kehilangan lu lagi."

Hanafi terisak, tubuhnya bergetar dalam pelukan Rano. Ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher lelaki itu, membiarkan air matanya tumpah. "Iya, Kak.. gua maafin. Udah ya, jangan nangis lagi.." ucapnya pelan, suaranya tersendat.

Namun, Rano tidak puas. Ia menatap Hanafi dengan mata penuh harap. Menatap lekat Hanafi yang mata dan hidungnya memerah akibat tangis—cantik, Hanafi itu luar biasa cantiknya di mata Rano, ditariknya pinggang ramping yang ia rasa itu hanyalah miliknya agar semakin merapat padanya. "Han, gua mau lu sekali lagi. Gua mau kita mulai lagi, dari awal. Please.." katanya, tangannya melingkar lebih erat di pinggang ramping Hanafi, enggan melepaskannya.

Hanafi terdiam. Kata-kata itu mengguncang hatinya yang masih rapuh. Perasaannya campur aduk, antara rasa rindu yang mendalam dan logika yang mencoba melawan. Ia menarik napas dalam, lalu berkata, "Kak, kita bicarain ini nanti, ya?"

Rano hanya menatapnya, air matanya masih mengalir deras. Tapi ia mengangguk pelan, tangannya mengusap lembut pinggang Hanafi, seolah mencoba mengabadikan momen ini. "Han, i love you.." bisiknya sekali lagi.

Hanafi tersenyum tipis, meskipun hatinya kacau. "Iya, Kak... i think i love—"

Tok tok tok.

Ketukan di pintu tiba-tiba memecah suasana. Keduanya tersentak, dan Hanafi mendadak membeku. Ia memalingkan wajahnya ke arah pintu, jantungnya berdetak kencang, menyadari sesuatu.

"Han, dibuka atuh pintunya! Aing bawa makanan banyak nih buat maneh!"

-

tbc

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang