thirty five

3.9K 346 72
                                        

Keheningan mendadak memenuhi ruangan setelah ucapan Rino yang terdengar seperti candaan konyol tadi. "Kenapa sih kalian lirik-lirikan mulu, kalo mau ciuman bilang, biar aing tutup mata," ucapnya santai sembari menyandarkan tubuh ke sofa, seolah hal itu bukan sesuatu yang aneh untuk dikatakan.

Rano, yang semula hanya tersenyum kecil, kini melirik Hanafi dengan tatapan penuh arti. Seringaian nakal muncul di wajahnya, membuatnya tampak seperti seseorang yang sedang merencanakan sesuatu. Hanafi, di sisi lain, sibuk menunduk menatap ponselnya, berusaha keras mengabaikan kehadiran Rano yang terasa terlalu dekat. Namun, bahkan dari jarak sejauh itu, rona merah di pipinya terlihat jelas.

"Yaudah, tutup mata lu sekarang," balas Rano santai, nada bicaranya tenang tetapi mengandung sesuatu yang membuat Hanafi mendongak kaget.

Hanafi terperangah, matanya melebar, tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Rino—dengan ekspresi yang benar-benar patuh—menutup matanya dan memutar tubuhnya ke arah lain. "Oke, aing udah ga liat. Lanjutkeun, Kang," katanya ringan.

Rano menahan tawanya. Melihat ekspresi panik Hanafi di depannya, ia merasa seperti menangkap mangsa yang tak mampu melawan. Dengan tenang, ia mendekat, tangannya terangkat untuk memegang dagu Hanafi yang terasa dingin namun sedikit gemetar.

Sebelum Hanafi sempat protes atau berlari, bibir Rano mendarat singkat di bibirnya. Kecupan itu cepat, tetapi cukup untuk membuat tubuh Hanafi membeku, pikirannya mendadak kosong. Rasa hangat itu seperti menyetrum, dan meskipun hanya sesaat, dunia terasa berhenti.

Rano menarik diri dengan senyum puas. Mata gelapnya menatap Hanafi yang masih terdiam, wajahnya merah padam. "Udah belum?" suara Rino yang tak sabar memecah keheningan, membuat Hanafi tersentak dari keterkejutannya.

Rano menoleh santai ke arah Rino, senyum penuh arti masih melekat di wajahnya. "Udah," jawabnya singkat.

Rino membuka matanya perlahan dan menoleh kembali ke arah mereka, tampak sama sekali tak menyadari apa yang baru saja terjadi. "Oke, keren, lanjut game lagi, ya!" katanya dengan antusias, seolah tak ada hal besar yang baru saja terjadi.

Hanafi hanya bisa menatap Rano dengan campuran rasa malu, bingung, dan marah. Tapi, di balik semua itu, ada sesuatu yang hangat menyelinap di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia tolak, meski sekuat apa pun ia mencoba.

-

Rino menatap keduanya dengan cengiran khasnya yang penuh arti. Alisnya bergerak naik-turun, memberi isyarat yang tak terlalu sulit ditebak. "Han, Kang, aing pamit pulang, ya. Udah malem soalnya," ucapnya ringan, meski tatapan nakal itu tertuju jelas pada Rano.

"Iya, No. Hati-hati ya pulangnya," balas Hanafi sambil mengantarnya ke depan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun ada perasaan canggung yang melintas sesaat.

Rino mengangguk, senyumnya tetap merekah. la melangkah menuju mobilnya, kendaraan yang sama yang pernah ia gunakan untuk mengantar Hanafi pulang sebelumnya. Rano berdiri di belakang, memperhatikan sampai mobil itu benar-benar menghilang dari pandangan mereka berdua.

Begitu bayangan Rino lenyap, suasana berubah seketika. Tanpa aba-aba, Rano menutup pintu dengan tegas, suaranya menggema lembut di antara keheningan malam. Dalam satu gerakan cepat, ia memutar badan dan langsung mendekati Hanafi. Sebelum Hanafi sempat bereaksi, tubuhnya terdorong pelan hingga punggungnya menabrak permukaan pintu kayu yang kini terkunci rapat.

"K-kak, apaan sih?" Hanafi berseru, terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. Matanya membulat, menatap Rano yang kini berdiri begitu dekat, sangat dekat. Sebelah lengan Rano terangkat, menopang tubuhnya di sisi Hanafi, menciptakan ruang sempit yang membuat pemuda itu tak punya pilihan selain tetap di tempatnya.

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang