thirty four

1.2K 198 108
                                    

Malam itu terasa semakin berat untuk Hanafi. Tatapan Rano yang tajam menusuk langsung ke hatinya. Ia tak tahu harus menjawab apa ketika Rano bertanya, "Han, itu Rino, kan? Lu ngajak dia ke sini?"

Hanafi terdiam, bingung mencari kata-kata. Jantungnya berdegup kencang, rasa bersalah menguasainya. Ia tahu situasi ini akan menjadi lebih rumit jika ia salah langkah.

Rano menghela napas kasar, jelas merasa kesabarannya semakin menipis. "Han, jawab gua," desaknya lagi, kali ini dengan nada lebih rendah tapi penuh tekanan.

Namun, sebelum Hanafi bisa mengeluarkan suara, ketukan di pintu kembali terdengar, diiringi suara ceria dari luar. "Han, buruan buka! Lapar nih, aing udah nunggu lama!"

Hanafi menatap pintu dengan gelisah, kemudian melirik Rano. Tapi Rano sudah kehilangan kesabaran. Dengan gerakan cepat, ia melangkah menuju pintu, membuka pegangan itu lebar tanpa ragu. Dan di sanalah, Rino berdiri dengan wajah ceria yang langsung berubah bingung ketika mendapati bukan Hanafi yang membukakan pintu, melainkan Rano—kakak tingkat yang hanya ia kenali nama dan wajahnya saja, tetapi Rano tidak mengenalnya. Sama seperti mahasiswa kebanyakan, Rino mengenal Rano sebab cap buruknya di kampus yang sering bergonta-ganti pasangan.

"Eh, kang!" seru Rino, suaranya penuh keheranan. "Main di sini juga?"

Rano menatap Rino dengan pandangan tenang namun tajam. Wajahnya yang biasanya dingin kini tersenyum tipis, menyembunyikan gejolak di dalam hatinya. "Iya, lu juga?" balasnya, mencoba menjaga nada suaranya tetap santai.

Rino, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, mengangguk antusias. Ia mengangkat bungkusan makanan yang dibawanya, senyum lebar terpancar di wajahnya. "Bagus kalo gitu, ini aing bawa makanan banyak. Ayo kita makan!"

Rano melirik Hanafi yang masih berdiri kaku di belakangnya, wajahnya pucat seperti kehilangan darah. Ia tahu Hanafi sedang bergulat dengan perasaannya, tapi Rano tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang lain—terlebih Rino.

"Masuk aja," ujar Rano pada Rino, kemudian melangkah ke samping, membiarkan pemuda itu masuk dengan santai.

Rino melangkah riang melewati Rano, tanpa menyadari ketegangan di dalam ruangan itu. "Han, mana piring? Aing bawa makanan enak nih, ada sate sama tongseng. Maneh pasti suka!" serunya pada Hanafi, yang masih terpaku di tempatnya.

Rano menyandarkan tubuhnya pada dinding, menyilangkan kedua tangannya sambil menatap Hanafi. Ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diartikan—campuran rasa marah, kecewa, dan entah apa lagi.

Hanafi menggigit bibir bawahnya, melirik ke arah Rano dengan pandangan penuh kebingungan. Ia tahu percakapan ini belum selesai. Ada sesuatu yang lebih besar menunggu di balik keheningan ini, sesuatu yang tak bisa ia hindari lagi.

-

Suasana di ruang tamu Rano terasa campur aduk—hangat sekaligus canggung. Mereka bertiga duduk bersama, namun hanya Rino yang tampak benar-benar menikmati kebersamaan itu. Pemuda itu dengan ceria menghabiskan makanan yang ia bawa, tertawa lepas, dan bermain game di ponselnya dengan antusias. Suaranya yang riang menggema, membuat Hanafi dan Rano tanpa sadar ikut tertawa sesekali, meski dalam hati mereka penuh dengan rasa yang tak terucapkan.

Rano mencuri pandang ke arah Hanafi beberapa kali. Ia masih bisa merasakan jarak di antara mereka, seperti tembok tipis yang sulit untuk ditembus. Namun, setiap kali Rino berbicara atau bertingkah konyol, suasana berubah. Rino seperti matahari kecil yang cerah, sosok yang mampu mencairkan kebekuan di mana pun ia berada.

"Kang, akang teh masih pacaran sama Zea, anak fakultas aing?" tanya Rino tiba-tiba, di sela jari-jarinya yang sibuk memainkan game di ponsel.

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang