seventeen

3.8K 346 62
                                        

Langit yang semula diterangi oleh matahari kini digantikan dengan bulan, jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan dan Hanafi baru saja menyelesaikan kegiatannya di kampus. Ia mengeluh kala merasakan lelah setelah beraktivitas sepanjang hari, namun raut lesu itu sedikitpun tidak mengurangi manis di wajahnya.

Ia bersandar pada tembok di depan Fakultasnya, menunggu Rano datang menjemput dan mengantarnya pulang. Tadi sore Rano mengatakan ia akan menunggu Hanafi di kediaman Chandra bersama ketiga sohibnya, sembari mengerjakan laporan praktikum katanya. Tapi jelas Hanafi tidak percaya begitu saja karena ia sudah hafal dengan kebiasaan Rano yang pastinya akan terlena dengan game kesayangannya.

Tin! Tin!

Sebuah mobil hitam pekat nampak memasuki area kampus, sontak Hanafi menegakkan tubuhnya sembari menunggu mobil tersebut mendekat ke arahnya. Ia sudah tahu pasti itu adalah Rano karena tidak begitu sulit untuk mengenali kakak tingkatnya tersebut. Setelah cukup dekat, Hanafi pun melangkah menghampiri Rano yang juga keluar dari dalam mobil.

"Maaf ya agak lama, macet tadi." ujarnya. Hanafi mengangguk lalu masuk ke dalam mobil setelah Rano membukakan pintu untuknya. Rano ikut masuk dan duduk di jok pengemudi, ia mengambil jaket miliknya di jok belakang dan menyerahkan benda itu pada si manis, "Pake, malem ini dingin." ucap yang lebih tua. Hanafi melirik Rano sekilas sebelum menerima jaket tersebut, "Thanks." balasnya kemudian segera memakai jaket milik Rano dan melapisi atasan yang ia kenakan. Wangi maskulin yang khas dengan Rano seketika menguar memasuki indra penciuman membuat si manis merasa lebih rileks dan nyaman.

"Udah makan nasi belom?" tanya yang lebih tua.

"Udah tadi pake katsu dibeliin Ujang."

"Bagus deh, ini gua beliin latte panas sebelum ke sini, ada cheesecake juga di dalemnya. Diminum dulu kopinya." Lagi-lagi Rano menyerahkan sesuatu padanya, Hanafi menerimanya dengan senang hati dan tidak lupa mengucapkan terimakasih pada yang lebih tua.

Rano sangat perhatian, tak jarang ia seperti ini pada Hanafi, bahkan hal kecil seperti tipe kopi yang akan Hanafi minum pun ia perhatikan, dan seperti kali ini, daripada membelikan si manis Americano yang menjadi kesukaannya, Rano lebih memilih membelikannya Latte yang jauh lebih soft.

"Mau pulang ke apartemen gua atau ke kostan lu?" tanya Rano di tengah perjalanan pulang, Hanafi tampak berpikir sejenak sembari menyeruput kopinya nikmat. "Eum, kostan gua aja deh, Kak." balasnya. Yang lebih tua menurut, lantas ia mengantar si manis pulang dengan nyaman, aman dan selamat sampai tujuan.

Sesampainya di depan kostan Hanafi, seperti biasa Rano akan turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk si manis itu. Hanafi keluar masih dengan mengenakan jaket milik Rano serta menenteng bungkusan cheesecake pemberian kakak tingkatnya, "Makasih banyak, Kak. Sorry ya ngerepotin, hehe." ucap Hanafi. Rano tersenyum teduh, ia tak pernah merasa keberatan sama sekali selama ini.

"My pleasure, Han." balasnya lembut.

"Ya udah, gua masuk duluan ya, Kak. Cape banget."

"Iyaa, sana masuk. Bersih-bersih dulu, kalo laper makan lagi, kalo gaada makanan bilang sama gua biar gua beliin, terus baru makan cheesecakenya. Dan jangan kemaleman tidurnya, oke?"

"Oke!"

Lagi, saat Hanafi mulai melangkah pergi Rano menahan lengannya tepat seperti tadi siang di kampus. Tepat saat Hanafi berbalik badan ke arahnya—

Cup.

Satu ciuman Rano daratkan pada sisi kanan bibir si manis dan hampir mengenai bibirnya. "Bales yang tadi, hehe." ucap Rano santai dengan tawa yang mengakhiri kalimatnya, kemudian tawa itu semakin pecah saat melihat reaksi si manis yang persis seperti dirinya tadi siang, yaitu membeku di tempat dan mengerjap beberapa saat.

Hanafi merasa tubuhnya kaku, pipinya memanas serta lidahnya kelu untuk mengeluarkan sebuah pertanyaan. Tentu saja Hanafi salah tingkah, dan bisa-bisanya Rano melalukan ini padanya!

"Hei, kenapa diem? mau lagi?" ujar Rano sembari mendekatkan wajahnya pada wajah si manis yang sudah memerah seperti kepiting rebus, Hanafi menggeleng cepat dengan wajah yang ia palingkan ke arah lain—ke manapun, asal tidak melihat ke arah Rano.

"HAHAHA." tawa Rano semakin menjadi melihat tingkah lucu Hanafi, lantas ia tarik si manis ke dalam dekapannya dan mengusap surai halus itu gemas. "Makanya jangan nyium-nyium gua tadi siang, giliran dibales salting kan lu." ucapnya lagi. Hanafi memukul dada Rano pelan, "Kan lu yang minta!" protesnya malu. Ya, memang benar. Tapi Rano masih tak menyangka jika si manis akan mewujudkan candaannya yang satu itu.

"Berarti kalo lain kali gua minta lagi boleh dong?"

"Engga lah! emangnya gua cowo apakabar?!"

"Kabar baik nih dari bocah saltingan yang lagi gua peluk, hahaha."

"Kakak! Udah, gua malu.."

"Hahaha.. iya-iya, maaf ya. Udah, sana masuk, ga dicium lagi kok."

"Eum."

Hanafi menjauhkan tubuhnya dari Rano, setelah mendapat usapan lembut di surainya dari yang lebih tua, dengan segera ia berlari ke dalam kost dan menutup pintu rapat-rapat. Memang Althalariq Zifrano sialan. Pun, kenapa ia harus salah tingkah seperti tadi? Hanafi yakin ia pasti terlihat seperti orang bodoh di mata Rano.

Di sisi lain, Rano sudah berada di jalan pulang, ia akan kembali ke kediaman Chandra untuk melanjutkan perkumpulannya yang sempat tertunda. Sepanjang jalann senyum di wajahnya tak luntur barang sedetik setelah berhasil mencium pipi gembil si manisnya itu, jika saja Dewi Fortuna berpihak padanya tadi mungkin ia akan mendapatkan bibir cherry tersebut malam ini.

"Mikirin apaansih, No!" monolognya, ia berusaha menepis pikiran-pikiran aneh yang mulai berdatangan. Bayang-bayang reaksi gemas Hanafi tadi tak kunjung hilang dari benaknya, menyebalkan tetapi juga menyenangkan di saat yang bersamaan. Rano mulai memikirkan banyak cara yang akan membuat si manis memerah malu seperti tadi, ia menyukai pemandangan itu, senang rasanya setelah berhasil menggoda pemuda polos tersebut.

Doakan saja semoga Hanafi tidak digoda habis-habisan oleh Rano besok dan seterusnya, karena jujur saja ia tidak akan sanggup dan bisa-bisa perasaan lain akan muncul perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Hanafi tidak mau itu terjadi, ia tidak ingin menjadi salah satu dari banyaknya kekasih Rano di luar sana. Kalaupun ia jatuh cinta nantinya, ia tidak ingin cintanya bertepuk sebelah tangan.

Siapapun pasti tau bagaimana sakitnya ketika cinta tidak terbalaskan, jadi, Hanafi tidak ingin merasakan hal itu.

Sedangkan di dalam kostan bernuansa abu-abu yang baru saja menjadi latar belakang momen ini, Hanafi sedang terbaring di kasurnya menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berterbangan kemana-mana. Sebenarnya pertemanan apa yang ia jalani bersama Rano? sejauh yang ia ketahui, tidak ada teman yang saling memberikan ciuman dan pelukan seintens yang keduanya lakukan.

Juga, Hanafi belum pernah memiliki pengalaman berteman yang sejenis ini. Diantar jemput hampir setiap hari, konflik yang menyerupai sepasang kekasih, akrab dengan tempat tinggal satu sama lain, berpelukan setiap hari dan kini ditambah dengan ciuman. Terlalu intens untuk dikatakan sebagai teman biasa, namun terlalu mengambang untuk dikatakan lebih.

Semakin banyak kita menghabiskan waktu bersama diri sendiri, maka akan semakin banyak hal yang kita sadari.

Persis seperti yang Hanafi alami saat ini, beberapa menit waktunya ia habiskan untuk melamun dan kini ia tersadar akan hubungan antar dirinya dan Rano yang terbilang sedikit aneh. Sebuah asumsi terlintas dalam benaknya namun buru-buru ia tepis, "Apa Kak Rano suka gua ya? eh-tapi ga mungkin lah, doi kan punya cewe, banyak lagi." monolognya pada asumsi tersebut.

"Tapi.. gimana kalo ternyata gua yang suka Kak Rano?"

-

tbc

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang