forty five

2.4K 243 33
                                        

Senja mulai meredup, langit berangsur melebur dalam semburat jingga yang perlahan tertelan gelap. Sudah saatnya Rano dan Hanafi kembali ke rumah mereka. Di ruang tamu, Hanafi tengah bermanja di pelukan sang ibu, seolah enggan melepaskan diri dari hangatnya kasih yang jarang ia rasakan. Sementara itu, Rano sibuk mengemasi barang-barang mereka, memastikan tak ada yang tertinggal.

"Mah~, aku ga mau pulang..." rengek Hanafi, suaranya terdengar manja seperti anak kecil yang tak ingin berpisah dari ibunya.

Mariska tersenyum lembut, mengusap pipi putranya dengan penuh kasih sayang. "Nanti bisa ke sini lagi sama Rano, sayang. Kamu kan masih harus kuliah," ucapnya, mencoba memberi pengertian.

Hanafi mencebik kecil, bibirnya mengerucut lucu. "Mamah kok ga ada sedih-sedihnya sih?" protesnya dengan nada menggemaskan.

Mariska terkekeh pelan, tawanya hangat. "Nanti kalau mamah nahan kamu, kamu malah beneran ga pulang, trus absen kelas, gimana dong?" candanya, membuat Hanafi akhirnya mengangguk setuju meskipun raut wajahnya masih tampak merajuk.

Tak lama, matanya tertuju pada Rano yang baru saja keluar dari kamar dengan membawa tas mereka. "Kita beneran pulang sekarang, kak?" tanyanya dengan nada ragu.

Rano menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Iya, sayangku. Kenapa?" balasnya lembut, tanpa ragu menyebut kata 'sayang' di hadapan Mariska.

Hanafi menghela napas pelan sebelum kembali merajuk. "Kakak... aku masih mau sama mamah," ucapnya, kini ia mulai mengadu pada Rano.

Mariska yang melihat tingkah putranya hanya bisa menahan tawa geli. Sementara itu, Rano berlutut di hadapan Hanafi, menyelaraskan tinggi mereka sebelum menggenggam tangannya dengan erat, memberikan kehangatan dalam genggaman yang menenangkan.

"Sayang, maaf ya... bukan kakak ga mau nurutin kamu, tapi besok kan masih harus kuliah. Nanti kalau libur semester kita ke sini lagi, lama-lama biar kamu puas manja-manjaan sama mamah, ya?" ujarnya penuh kelembutan, seolah ingin menenangkan gelombang kecil yang berkecamuk di hati kekasihnya.

Hanafi mengangguk pelan meskipun bibirnya masih mengerucut. "Iya..."

Rano mengalihkan pandangan ke Mariska. "Mah, kalau gitu kami pamit, ya. Biar ga kemaleman di jalan dan besok Hanafi bisa istirahat cukup buat kelas paginya," ujarnya, sembari menundukkan kepala dengan hormat, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan penuh takzim.

Mariska mengangguk, matanya berkilat penuh kasih. "Iya, sayang. Nanti kalau libur semester, mampir lagi ke sini, ya? Jaga diri di jalan, hati-hati, dan jangan ngebut, nak," pesannya penuh perhatian. Ia lalu menyerahkan tas kecil berisi makanan untuk bekal di perjalanan.

Sejenak, ia menarik Hanafi ke dalam pelukan erat, mendekapnya seolah ingin mentransfer seluruh kasih sayang yang tersimpan di dadanya. Lalu, tanpa ragu, ia juga memeluk Rano dengan hangat, seolah memeluk anaknya sendiri.

Setelah momen penuh kasih itu, ketiganya berjalan menuju pintu. Rano memasukkan barang-barang ke bagasi, sementara Hanafi dan Mariska berdiri di ambang pintu, menikmati detik-detik perpisahan yang tak bisa dihindari.

"Hati-hati ya, anak-anakku... nanti kalau sudah sampai, kabari mamah," pesan Mariska dengan suara lembut.

"Iya, mah..." balas Hanafi lirih.

Ia lalu menatap ibunya penuh kasih. "Mamah hati-hati juga, jaga kesehatan, sering-sering aja ikut senam, arisan, kumpul-kumpul sama temen-temen mamah biar ga kesepian," tambahnya, membuat Mariska tertawa kecil. Tawanya renyah, memperlihatkan gusinya-persis seperti Hanafi.

Setelah perpisahan singkat itu, Rano dan Hanafi akhirnya benar-benar meninggalkan komplek perumahan Mariska. Perjalanan pulang terasa sedikit hampa, hanya diisi oleh suara musik lembut yang mengalun pelan dari radio mobil.

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang