Sejak ciuman dari Rano beberapa hari lalu, ternyata ia tak terhenti di sana. Ia malah semakin gencar dan lancang mencium adik tingkatnya tersebut setiap kali keduanya bertemu. Hal itu jelas membuat si manis kebingungan dengan sikapnya, namun untungnya asumsi Hanafi malam itu tidak ia hiraukan lagi.
Hanafi tak lagi mempermasalahkan apapun dari Rano, toh, kalaupun memang Rano tidak memiliki perasaan apapun padanya ia akan menganggap semua yang telah terjadi adalah bentuk kasih sayang keluarga. Sepertinya itu lebih baik.
Dikarenakan hari ini adalah akhir pekan, maka dari itu Rano maupun Hanafi memilih menghabiskan waktu di apartemen yang lebih tua, ia menemani—tepatnya mengganggu yang lebih muda memasak. Hanafi sedang ingin mencoba resep baru yang ia dapatkan di internet, dan dikarenakan bahan-bahan masakan di apartemen Rano lebih lengkap dari miliknya maka dari itu ia memutuskan untuk membuatnya di sini.
"Kak, minggir dulu kek!" ujar Hanafi menyikut pelan perut Rano yang sedang menempel padanya seperti ulat bulu. Rano menggeleng, ia menyandarkan dagunya pada bahu sempit kesukaannya tersebut, "Ga mau." balasnya singkat.
Huft.. entah helaan nafas yang keberapa kalinya terdengar dari Hanafi. Ternyata menjadi dewasa tidak hanya kuliah dan hidup mandiri, ternyata juga harus menghadapi seorang Althalariq Zifrano yang manjanya bisa mengalahkan toddler. Sungguh memalukan, di luar rumah ia bersikap seolah ia adalah panglima tempur namun jika ia bersama Hanafi maka semua sikap dewasanya hilang begitu saja.
Hanafi yang semula sedang memotong daun bawang pun menghentikan kegiatannya, ia merubah posisinya menghadap yang lebih tua dan menatapnya tajam. "Kak Rano, nurut ga?" ujarnya datar. Rano mengerti, jika Hanafi sudah seperti ini maka artinya ia benar-benar harus berhenti mengganggunya.
"Hehe.. iya ini nurut."
Bukannya segera menjauhkan tubuhnya dari Hanafi, justru Rano mendekatkan wajahnya pada si manis dengan sedikit menunduk. "Tapi cium dulu." lanjutnya.
Hanafi menghela nafasnya kasar sembari menatap Rano dalam-dalam, lantas ia menangkup pipi tirus yang lebih tua dan mendaratkan ciuman singkat pada kedua sisi pipinya. "Udah." ucapnya melepas tangkupan tangannya. "Di sini belom." Rano memajukan bibirnya beberapa senti memberi kode pada si manis.
"Ga mau."
"Yah.. kenapa?" tanya Rano terdengar kecewa. Tapi Hanafi tidak peduli, ia tidak ingin menjadi salah satu dari banyaknya mainan Rano. Terlebih lagi ia tidak pernah berciuman dengan siapapun sebelumnya, bahkan sekedar ciuman biasa pun ia lakukan pertama kalinya pada Rano.
"Bibir umum." balas si manis singkat.
Mendengar itu Rano terbahak, ada benarnya juga jadi ia tidak bisa protes ataupun tidak terima. "Hahaha, sialan kata-katanya." ujar Rano, sedangkan Hanafi hanya mengedikkan bahunya acuh, "Ya lagian si, lu kebanyakan nyium cewe, Kak. Minta cium sana sama cewe-cewe lu." katanya mengingat bukan lima atau sepuluh orang saja yang pernah Rano cicipi dengan bibirnya.
"Ga mau, maunya dicium Hanafi."
"Hanafinya ga mau."
"Maunya kapan?"
"Ga tau."
"Oke, gua tungguin sampe mau." final Rano sebelum mencuri ciuman pada leher si manis sebelum melarikan dirinya ke kamar meninggalkan si manis seorang diri di dapur. Hanafi menghela nafasnya tak habis pikir dengan Rano yang semakin hari semakin liar.
Sementara Hanafi kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda mari kita lihat keadaan Rano di dalam kamar. Ia merebahkan diri sembari memeluk erat guling miliknya, kembali memikirkan segala hal yang telah ia lakukan beberapa bulan ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-straykids (14/04/25) #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (03/12/24) #1-leeknow (19/01/25) #1-han (08/03/25) #1-lokal (30/04/25) written by; staylupminsung, 2024.
