forty four

790 123 10
                                    

Pagi itu, Rano terbangun lebih dulu seperti biasa. Setelah membersihkan diri, ia melangkah keluar dari kamar dengan langkah pelan, menuju dapur untuk mencari segelas air. Namun, setibanya di sana, ia mendapati pemandangan yang tak terduga.

Mariska sudah lebih dulu berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek sederhana, sibuk memasak sarapan. Aroma sup ayam yang hangat bercampur dengan bau harum tempe goreng memenuhi ruangan, menciptakan suasana rumah yang begitu akrab dan hangat—sesuatu yang sudah lama tidak Rano rasakan.

"Eh, Rano, udah bangun?" suara Mariska terdengar ramah, penuh kehangatan yang entah mengapa membuat hatinya sedikit bergetar.

Rano tersenyum kecil, meski perasaan canggung menyelinap di dadanya. Ia mengangguk pelan. "Iya, Mah. Haus, jadi kebangun," jawabnya dengan suara agak serak karena baru bangun tidur.

Tanpa diduga, Mariska dengan sigap meraih gelas bersih, mengisinya dengan air putih, lalu menyodorkannya pada Rano. "Ini, Sayang. Minum dulu. Sambil duduk, ya, jangan berdiri. Ngga baik," ucapnya lembut.

Seketika Rano terdiam, merasakan sesuatu yang asing namun begitu hangat di dalam dadanya. Perhatian seperti ini… sudah lama sekali ia tidak merasakannya. Biasanya, hanya Hanafi yang memperlakukannya dengan penuh kasih. Tapi kini, seorang ibu juga melakukan hal yang sama untuknya. Ia menerima gelas itu dengan hati yang tiba-tiba terasa berat, lalu duduk di kursi meja makan sebelum meneguk air putih itu perlahan.

Sementara itu, Mariska kembali sibuk dengan masakannya. Sesekali ia membalik tempe goreng yang mulai berwarna keemasan, sementara uap dari sup ayam mengepul, menyebarkan aroma yang semakin menggugah selera.

"Hanafi belum bangun?" tanyanya santai, tetap fokus pada masakannya.

"Belum, Mah," jawab Rano setelah menaruh gelasnya di wastafel. "Mau aku bangunin?"

Mariska menggeleng pelan. "Ngga usah. Ini, kamu tolong cicipin supnya, udah pas atau belum?" katanya sambil menyerahkan sendok pada Rano.

Tanpa banyak bicara, Rano mengambil sendok itu, meniup sedikit kuah yang ia ambil, lalu menyuapkannya ke mulut. Saat rasa sup itu menyentuh lidahnya, matanya sedikit membesar.

"Enak, Mah," ucapnya dengan senyum cerah. "Persis kayak yang Hanafi masak biasanya."

"Oh ya?" Mariska ikut tersenyum, tampak sedikit terkejut. "Han juga sering masak ini?"

Rano mengangguk. "Iya, dulu sering. Tapi sekarang udah jarang."

"Lho, kenapa?"

"Semenjak pacaran, semua kerjaan rumah aku yang kerjain," jawabnya jujur. "Termasuk masak. Hanafi aku suruh istirahat aja, biar fokus ke tugas kampusnya."

Mendengar jawaban itu, Mariska tertawa kecil. Tiba-tiba ingatannya melayang pada seseorang di masa lalunya—mantan suaminya.

"Kamu mirip papahnya Hanafi," gumamnya setelah tawanya reda.

Rano menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. "Mirip apanya, Mah?" tanyanya.

"Sifat kamu kalau udah cinta sama orang," jawab Mariska, tatapannya menerawang seakan kembali ke masa lalu. "Dulu, Mamah juga kayak Hanafi. Ngga dibolehin kerja rumah, bahkan cuma buat nyuci piring aja susah banget dapat izin."

Rano ikut tertawa mendengarnya. "Terus, beliau di mana sekarang, Mah?" tanyanya, menyadari bahwa sejak ia datang, ia tak pernah melihat sosok lain di rumah ini selain Hanafi dan ibunya.

Sejenak, ekspresi Mariska berubah. Senyum di bibirnya sedikit meredup, tetapi matanya tetap lembut. "Beliau sudah meninggal sejak Hanafi masih SD dulu, Sayang," jawabnya lirih. "Hanafi juga punya kakak laki-laki, tapi dia udah kerja dan menikah di luar kota. Jadi… bisa dibilang, Hanafi tumbuh besar tanpa sosok laki-laki dalam hidupnya."

Seketika, hati Rano terasa mencelos. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyergapnya. "Oh… Maaf, Mah, aku ngga maksud—"

Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Mariska langsung memotong dengan senyum lembut. "Ngga apa-apa, Sayang. Mamah ngga sedih, kok," ucapnya. "Emangnya Hanafi belum pernah cerita, ya?"

Rano menggeleng. "Belum. Kita belum pernah bahas keluarga satu sama lain."

Mariska mengangguk, memahami alasan itu. Mungkin, bagi Hanafi, mengenang kembali ayahnya bukanlah hal yang mudah. Mungkin, ada luka yang masih tertinggal di hatinya, dan ia belum siap membaginya dengan Rano.

"Ya sudah, jangan dibahas lagi," ujar Mariska, kembali memasang senyum di wajahnya. Ia lalu menoleh ke arah Rano dengan ekspresi penuh kehangatan. "Sana, bangunin Hanafi. Kita sarapan bareng."

Rano tersenyum, lalu berdiri dari tempat duduknya. Perasaan hangat masih mengalir dalam dadanya, memenuhi celah kosong yang selama ini ia rasakan.

Hari ini, ia kembali merasakan bagaimana rasanya diperhatikan oleh seorang ibu.

Sepeninggalan Rano yang kini menuju kamar untuk membangunkan Hanafi pun meninggalkan renungan bagi Mariska.

Hidup tanpa sosok ayah adalah perjalanan yang sunyi, seakan melangkah di lorong panjang tanpa cahaya yang cukup untuk menunjukkan arah. Bagi seorang anak, ketiadaan figur ayah seringkali menumbuhkan celah kosong dalam batinnya—sebuah kekosongan yang tak mudah diisi oleh apapun. Sedang bagi seorang ibu, merangkap peran sebagai kepala keluarga sekaligus tempat bersandar bagi anak-anaknya adalah tugas yang nyaris mustahil, sebuah tanggung jawab yang menuntut lebih banyak dari apa yang bisa diberikan.

Mariska telah menjalani itu semua dengan segenap jiwa dan raga. Berjuang di antara lelah dan sepi, di antara kerja keras dan air mata yang tak pernah terlihat oleh siapapun. Ia memastikan bahwa anak-anaknya tidak hanya tumbuh dengan cukup sandang dan pangan, tetapi juga dengan hati yang tak kekurangan kasih sayang. Namun, tetap saja, ada hal-hal yang tak bisa ia gantikan. Ada peran yang tetap terasa hampa.

Hanafi dan Rano adalah dua jiwa yang tumbuh dalam ketidaksempurnaan. Tanpa tuntunan figur ayah, mereka belajar sendiri bagaimana menjadi kuat, bagaimana bertahan, dan bagaimana mencintai diri sendiri tanpa harus mencari validasi dari orang lain. Namun, tak semua anak laki-laki seberuntung mereka—banyak yang tersesat, memilih jalan gelap sebagai pelarian dari kehampaan yang tak mampu mereka pahami.

Tapi tidak dengan Hanafi. Tidak dengan Rano.

Kesadaran diri menyelamatkan mereka dari kehancuran yang mungkin bisa menelan mereka bulat-bulat. Hanafi menemukan caranya sendiri untuk tetap berjalan di jalan yang terang, dan dengan langkahnya yang teguh, ia menarik Rano agar ikut bersamanya. Ia menjadi tempat berlindung bagi seseorang yang selama ini tak punya rumah untuk kembali.

Di atas rasa kecewa yang Mariska rasakan, ada kebahagiaan yang jauh lebih besar menyelubungi hatinya. Ia akhirnya menyadari bahwa keberadaan Rano dalam hidup Hanafi bukan sekadar cinta buta atau kesalahan langkah yang harus diluruskan. Rano adalah bagian dari Hanafi yang tak terpisahkan, yang melengkapi kekosongan yang selama ini ia tutupi dengan kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja.

Meski tak sempurna, kini Rano adalah satu-satunya sosok laki-laki yang Hanafi miliki. Satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhan batinnya setiap hari—menyediakan tempat pulang yang nyaman, memberikan kasih sayang tanpa syarat, dan menjadi sandaran tanpa batas waktu.

Mariska menghela napas panjang. Dadanya terasa lebih lapang, seakan beban yang selama ini ia pikul perlahan-lahan luruh.

Jika ini adalah takdir yang telah dituliskan untuk Hanafi, maka ia berharap kebahagiaan itu tak hanya menjadi persinggahan, tetapi menjadi rumah yang tak akan pernah runtuh. Jika ada satu hal yang ia harapkan di dunia ini, maka itu adalah agar cinta yang Hanafi miliki untuk Rano, dan sebaliknya, bisa terus ada tanpa batas waktu dan tanpa halangan apa pun.

Pun jika harus terpisah, biarlah hanya ajal yang menjadi perantara.

-

tbc

BETWEEN US • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang