Hari-hari terasa lebih ringan bagi Hanafi dan Rano. Seolah dunia yang dulu begitu menekan kini melunak dalam dekapan kebersamaan. Tidak ada lagi pagi yang terasa berat, tidak ada lagi malam yang dipenuhi kesepian. Rumah yang sempat menjadi ruang kosong tanpa jiwa, kini berpendar hangat dengan tawa dan cinta yang memenuhi setiap sudutnya.
Kamera yang sempat terabaikan di laci paling bawah kini kembali menggenggam kenangan-menangkap momen-momen kecil yang dulu terasa biasa, tetapi kini menjadi begitu berarti. Rano seringkali mengambil gambar Hanafi saat ia sedang sibuk dengan bukunya, atau sekadar saat pemuda itu menatap jendela dengan pikiran melayang. "Buat apa sih, Kak?" tanya Hanafi setiap kali jepretan kamera terdengar. "Buat kenang-kenangan kalau kamu tiba-tiba jadi terkenal nanti," jawab Rano dengan tawa yang mengisi ruangan.
Kasur yang dulu terasa terlalu luas kini kembali nyaman ketika dibagi. Tidak ada lagi malam-malam dingin yang menusuk, karena ada seseorang yang selalu siap merengkuh dalam hangatnya pelukan. Mereka berbincang hingga larut, membahas hal-hal remeh sampai topik besar tentang masa depan. Kadang, Rano menggumamkan lagu pelan di tengah kantuk, sementara Hanafi hanya diam, mendengarkan dengan senyum tipis yang tak ia sadari.
Cangkir kopi yang sempat menganggur di sudut meja kini kembali memiliki tuannya. Pagi mereka diisi dengan aroma kopi hitam yang mengepul, diiringi suara sendok yang beradu dengan gelas, dan obrolan ringan tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka raih. Kadang, ada pertengkaran kecil tentang siapa yang harus membuat kopi lebih dulu-biasanya berakhir dengan Hanafi yang mengalah sambil menggerutu pelan, sementara Rano tersenyum puas.
Segalanya kembali. Segalanya terasa utuh.
Mereka tidak menjalani kehidupan yang penuh kemewahan, tetapi bahagia dalam kesederhanaan yang dilengkapi cinta.
Setiap sore, mereka duduk berdampingan di balkon, melihat langit yang perlahan berubah warna. Tidak ada percakapan yang perlu diucapkan, karena genggaman tangan yang erat sudah cukup untuk menyampaikan segalanya.
Setiap hujan turun, Rano akan menarik Hanafi keluar dan menari di bawahnya, meski selalu berakhir dengan bersin-bersin dan selimut tebal yang membungkus tubuh mereka di sofa. "Kak, kapan kakak berhenti jadi bocah?" keluh Hanafi dengan hidung merah karena kedinginan. Rano hanya tertawa dan menariknya lebih dekat, "Kapan pun kamu mau nemenin kakak jadi bocah seumur hidup."
Dan setiap malam, sebelum tidur, selalu ada bisikan lirih yang menjadi penutup hari. "Kakak bersyukur punya kamu, sayang." ujar Rano, suaranya samar dalam kantuk. Hanafi tidak selalu menjawab, tetapi senyum kecilnya yang tertahan sudah cukup sebagai balasan.
Mereka tidak butuh janji selamanya, karena kebahagiaan mereka terletak pada saat ini-pada detik-detik yang diisi dengan hal-hal kecil yang bermakna, pada kesederhanaan yang terasa begitu lengkap karena cinta.
-
Hidup terus berjalan, tetapi bagi Hanafi dan Rano, setiap hari terasa seperti lembaran baru dalam kisah mereka. Tak ada drama besar, tak ada lika-liku rumit seperti dalam film-hanya dua insan yang saling mencintai dan memilih satu sama lain setiap hari.
Pagi mereka selalu diawali dengan mata yang masih berat terbuka, namun Rano akan selalu menjadi yang pertama bangun. Bukan karena ia rajin, melainkan karena ia ingin menikmati wajah cantik Hanafi yang masih terlelap lebih lama. Dengan senyum kecil di bibir, Rano akan menyelipkan helaian rambut Hanafi yang jatuh ke dahi, membiarkan jemarinya menyusuri pipi pemuda itu sebelum akhirnya beranjak ke dapur untuk membuat kopi.
Tentu saja, kopi buatan Rano selalu terlalu pahit untuk Hanafi.
"Kakak ga ada niat belajar bikin kopi yang bener apa gimana sih?" keluh Hanafi setelah menyesapnya.
"Kamu yang lidahnya kebanyakan gula, sayang," balas Rano, menyenderkan dagunya di bahu Hanafi sambil menatap gelas di tangannya. "Kopi itu harus ada pahitnya, kaya hidup."
Hanafi mendengus sebelum menambahkan lebih banyak gula ke dalam gelasnya. "Ya udah, aku maunya hidup yang manis aja, ga mau kaya kopi Kakak."
Namun, kebenaran dari kata-kata Rano tetap ada. Hidup memang tak selalu manis, dan Hanafi pun menyadari itu. Ada hari-hari di mana tugas kuliah menumpuk, ada saat-saat di mana pekerjaan membuat kepala pusing, tetapi setiap pulang ke rumah dengan dijemput oleh Rano dan menghabiskan waktu dengan berbagi bercerita sepanjang perjalanan pulang ditemani lagu-lagu kesukaan mereka berdua serta kehangatan cinta satu sama lain-Hanafi tahu bahwa semua itu sepadan.
Mereka menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.
Seperti memasak bersama di dapur sempit mereka, meskipun akhirnya lebih banyak bahan makanan yang berantakan ketimbang yang berhasil dimasak dengan baik.
Seperti pergi ke toko alat musik, di mana Hanafi akan dengan serius memilih alat musik atau aksesorisnya-dengan dibantu Rino yang menjadi orang paling semangat tentang Rano dan Hanafi-sementara Rano sibuk mengikutinya ke mana pun ia melangkah, terkadang diam-diam memasukkan aksesoris acak ke dalam tumpukan belanjaan mereka hanya untuk melihat reaksi Hanafi nanti.
Seperti sore hari di balkon saat sedang senggang, di mana mereka hanya duduk berdua sambil berbagi satu earphone, mendengarkan lagu yang sama dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Seperti malam-malam hujan, di mana Rano selalu menarik Hanafi keluar untuk merasakan rintiknya di kulit mereka, meskipun ujung-ujungnya Hanafi selalu mengomel karena kedinginan.
Namun, hal yang paling mereka sukai adalah tidur dalam dekapan satu sama lain, merasakan kehangatan yang lebih dari cukup untuk mengusir dinginnya malam.
Suatu malam, di tengah heningnya kamar yang hanya diterangi lampu temaram, Hanafi menyelipkan kepalanya di lekukan leher Rano dan bergumam pelan, "Aku ga nyangka bisa seseneng ini, Kak."
Rano mengecup puncak kepalanya sebelum menjawab, "Kakak juga."
Tak perlu banyak kata, karena mereka tahu-cinta mereka ada di setiap detik yang mereka habiskan bersama. Tidak perlu kemewahan, tidak perlu janji-janji besar. Cukup satu sama lain, cukup kebersamaan yang terus bertumbuh, cukup hati yang selalu memilih untuk tetap tinggal.
Dan bagi mereka, itu lebih dari cukup.
-
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-straykids (14/04/25) #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (03/12/24) #1-leeknow (19/01/25) #1-han (08/03/25) #1-lokal (30/04/25) written by; staylupminsung, 2024.
