Langit mendung sore itu seolah menggantungkan rahasia hujan yang tak terhindarkan. Hanafi mengemudikan mobilnya perlahan, merasakan kesejukan udara sebelum titik-titik air mulai turun, berubah menjadi deras hanya dalam hitungan detik. Wiper mobilnya bergerak ritmis, sementara lagu "Best Part" dari Daniel Caesar tiba-tiba mengalun dari radio, memenuhi kabin dengan melodi yang begitu akrab.
Hanafi menelan ludah, dadanya terasa sesak. Lagu itu.. lagu yang dulu sering mereka nyanyikan bersama di tengah malam, saat dunia hanya milik mereka berdua. Suara Rano, dengan tawa kecil di sela nyanyiannya, tiba-tiba terasa begitu dekat di ingatannya.
"Lagu jelek," gumamnya pelan, mencoba mengabaikan sensasi dejavu yang menggerogoti pikirannya. Tapi apa daya, lagu itu seakan membawa kenangan yang sulit untuk diusir.
Sesampainya di toko alat musik, hujan masih mengguyur deras. Hanafi berlari kecil dari tempat parkir, membiarkan beberapa tetes air membasahi jaketnya. Pintu toko berbunyi pelan saat ia membukanya, dan aroma kayu serta logam dari alat musik langsung menyambutnya.
"Halo, Mas, cari apa, atuh? Gitar? Biola? Atau sekadar ngobrol sama saya?"
Hanafi mendongak, sedikit terkejut dengan sapaan yang terlalu akrab dari seorang pria muda dengan senyum lebar. Pria itu memakai kaos hitam longgar dan celana jeans sobek, dengan wajah yang tampak terlalu ceria untuk ukuran penjaga toko.
"Eh, gua mau nyari senar gitar. Yang biasa aja, buat akustik," jawab Hanafi singkat, sedikit kikuk dengan antusiasme pria itu.
"Ah, senar gitar, senar hati, semuanya bisa dicari di sini, Mas!" jawab pria itu sambil tertawa kecil. "Nama saya Rinoel, eh, biasa dipanggil Rino. Mana tahu nanti Mas Hanafi mau jadi pelanggan tetap saya."
Hanafi mengernyit. Rinoel. Nama itu langsung membuat pikirannya kembali melayang pada Rano. Terlalu mirip. Terlalu dekat. Seolah dunia sengaja mempermainkannya, menghadirkan sesuatu yang hampir sama, tapi bukan.
"Mas? Mas Hanafi, ya? Eh, saya mah sering lihat Mas di kampus!" Rinoel melanjutkan tanpa henti, membuat Hanafi sedikit tersentak dari lamunannya.
"Lu tau nama gua?" Hanafi bertanya, mencoba menenangkan pikirannya yang mendadak bergejolak.
Rinoel tertawa kecil. "Ya atuh, tadi saya dengar Mbak kasir manggil nama Mas pas buka invoice kemarin. Eh, saya mah suka perhatian gitu, suka hafalin pelanggan." Ia mengedipkan mata, membuat Hanafi sedikit bingung, tapi juga terhibur.
Rinoel bergerak gesit, mengambil beberapa senar dari rak. "Ini rekomendasi saya, Mas. Yang ini murah, tapi awet. Yang ini harganya lumayan, tapi nadanya mantap pisan."
Hanafi tersenyum tipis. "Lu selalu begini sama semua pelanggan?"
"Wah, kalau pelanggan lain mah engga, Mas. Mas Hanafi ini spesial, eh." Rinoel mengedipkan mata lagi, membuat Hanafi menghela napas pendek, setengah geli.
Saat Hanafi hendak membayar di kasir, Rinoel tiba-tiba berseru, "Eh, Mas Hanafi kuliah di seni musik, ya? Saya sering liat Mas di kampus!"
Hanafi menoleh. "Kita satu kampus?"
"Iya, beda fakultas. Saya mah anak desain. Kadang suka mampir ke jurusan seni musik, soalnya, ya gimana ya, lebih berwarna." Ia tersenyum lebar.
Hanafi tertawa kecil yang terlihat ceria, pertama kalinya sejak lama. "Oke, Rinoel, lu lucu juga."
"Hatur nuhun, Mas. Kalau nanti butuh teman ngobrol atau senar gitar lagi, saya mah tinggal dipanggil!" ujar Rinoel penuh semangat.
Hanafi melangkah keluar toko dengan senar gitar di tangan dan hati yang sedikit lebih ringan. Hujan sudah mulai reda, dan untuk pertama kalinya, lagu "Best Part" terasa lebih seperti kenangan indah daripada luka lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN US • MINSUNG
FanfictionKatanya taruhan, tapi kok ciuman? #1-straykids (14/04/25) #1-stay (29/11/24) #1-han jisung (03/12/24) #1-leeknow (19/01/25) #1-han (08/03/25) #1-lokal (30/04/25) written by; staylupminsung, 2024.
