139. NYAMPAH KATA: Langit, Pusara dan Mahkota

106 2 0
                                    

Langit pernah menghujaniku puisi penuh rindu

Memekarkan bunga yang layu

Dari dua pusara berdampingan, kita masih melihat Langit yang sama

Menunggu hujan turun membasahi hati kita yang gamang karena kerinduan yang dalam

Memahkotaiku dengan cinta dan menahtakanku satu di hatinya

Aku pernah membaca Langit dan terus menatapnya tanpa henti. Kadang ia begitu cerah membiru, tertutup awan-awan yang berlari juga mendung hitam yang menggantung

Aku rindu hujan puisimu seperti ia yang memberiku kehidupan pun kesakitan bersama rajamnya yang rintik menghunjam

Aku terlena hingga lupa bahwa kita berbeda. Ia jauh di atas sana. Sedang, aku di bawah sini. Terkubur bersama puisiku yang telah mati--tak kukremasi

Karena puisi selalu jujur melukiskan bilur

Kita memang diksi yang menyatu jadi puisi. Di sana, bercinta dengan bahagia.Puisi itu ranjang kita, kan? Bukan. Puisi itu tubuhmu tubuhku jadi satu

Karena dirimu yang jadi alasan puisiku dituliskan hingga akhirnya dikebumikan bersama kesedihan

Betapa rindunya hingga seluruh kata tak mampu mengurainya

Kini, aku mulai buta warna hingga langit terlihat hitam putih semata. Bahkan aku lupa cara melukis warna pelangi di matanya juga melengkungkan pelangiku di bibirnya.

Aku menanggalkan mahkotaku--entah di jalan mana--saat menujumu. Tapi, senja telah memerahkan langitku dan meninabobokannya di dada perempuan bergincu ungu

Aku terlelap selamanya di pusara, hanya untuk memilikimu dalam mimpi dan untuk seterusnya

Lalu, aku mulai membakar banyak dupa juga sampah puisiku. Berharap asapnya sampai ke langit sana dan bercerita bahwa di bawah pusara itu masih ada aku yang mencintaimu dalam kesakitan

Langit memeluk matahari dan memahkotainya selamanya. Bulan mati bersama puisi-puisinya. Menangisi takdir dalam pusara.

Diksi-diksiku kian rapat jadi pintu dan jendela yang tak kasat. Aku bersembunyi di antara huruf-huruf yang mulai sepi, memanggil namamu berkali tapi tak kembali. Hingga mahkota bungaku layu satu-satu yang ditebar di atas pusaraku

Devania Pury, Februari 2016
Pertama kali ditulis: 3/11/14

Sesungguhnya ini draft puisi yang akan diikutsertakan event menulis di grup facebook PEDAS GALERI PUISI 076 dengan tema wajib menggunakan kata: langit, pusara dan mahkota. Tetapi, entah kenapa puisi ini tidak jadi saya kirim.

Tanah Sehabis Hujan (Bagian Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang