Pada malam kesekian--entah kulupa yang ke berapa--masih kutanya angin yang menyapaku dari jendela tentang arti sepi. Ia hanya diam. Namun, tak henti mengecup mesra dan memelukku manja.
Aku masih melihat Bulan. Sekilas, ia selalu sama. Tapi, kautahu, ia sudah tak pernah lagi sama sejak malam itu. Saat sajak-sajak mulai mati. Tiada berdetak.
Lalu, angin seolah menangis. Ia datang membawa udara malam yang jadi embun--memenuhi setiap celah kamarku. Hingga sesak atau aku yang lupa cara menarik dan mengembuskannya kembali.
Dan di malam-malam kemudian, hanya tersisa ketiadaan yang sama anginnya, yang sama dinginnya. Selalu mengecup mesra. Tanpa pernah kulihat nyata. Meski kutahu ia ada. Di sini, di rongga paruku.
Devania Pury, Desember 2015
Pertama kali ditulis: 10/1/15
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Sehabis Hujan (Bagian Satu)
Poésie"Aku suka aroma tanah sehabis hujan. Anggap saja hujan adalah isi kepalaku dan tanah adalah tempatku menulis." Semacam kumpulan puisi Devania Pury--ya, jika bisa dibilang puisi. Baik puisi yang belum pernah dipublikasikan, diposting di beranda media...