98. SENJA ENAM BELAS JUNI

96 1 0
                                    

Sejak senja terakhir di taman kota tanggal enam belas Juni tahun lalu
Hatiku terus didera rindu
Aku ingin bertemu

Tangisku terlalu sering tak dapat dibendung kala kesendirian itu terasa
Aku kehilangan jiwaku yang satu lagi yang selalu kucari hadirnya
Aku membutuhkanmu terutama cintamu
Karena aku sangat mencintaimu, selalu sampai ajalku

Telah kucoba untuk lupakan sejenak
Sejenak pun tak pernah bisa kulupakan
Bagaimana jika dan untuk selamanya
Aku akan mati dalam hitungan seperdetik
Bukan karena aku bunuh diriku sendiri dengan pisau yang tertancap di dada
Tergantung di atap dengan selendang merah mencekik leher
Ataupun racun tikus yang termakan habis dari bungkusnya
Aku akan mati karena cintaku terpaksa untuk mati
Aku tak akan bahagia lagi

Kau selalu nyata mengalir dalam jiwaku
Kurindukan dirimu dan kupejamkan mataku sekali lagi
Kulihat bayangmu berkemeja putih
Juga celana panjang putih bersih yang dulu pernah kita beli di Bali
Kau berdiri membelakangiku di pinggir pantai
Rambut hitammu yang lurus mengkilap tertiup angin semilir
Aroma wangi parfummu tercium tak pernah berubah
Dan kurasakan getaran cinta itu selalu ada dari dirimu

Kau berbalik
Tampak sempurna
Aku menangis terharu
Bahagia
Kau tersenyum dan menyambutku dalam satu pelukan hangat yang selalu kurindu
Kau sungguh nyata
Kubuka mataku
Kusadarkan diriku lagi untuk kesekian kalinya bahwa kau tak pernah ada

Senja terakhir di taman kota tak banyak menunjukkan perubahan yang berarti
Warnanya masih jingga sama seperti enam belas Juni tahun lalu
Hanya saja bedanya kau tak pernah ada
Mungkin juga tak pernah kau anggap perlu untuk merindukanku
Sehingga tak ada alasan yang memaksamu untuk datang ke taman kota ini
Meski tuk mengingat kenangan diantara kita di sini di taman kota
Dan karena itulah aku selalu sendiri

Devania Pury, Februari 2016
Pertama kali ditulis: 2007

Tanah Sehabis Hujan (Bagian Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang