12. JEDA, PISAH DAN TERSISIP: Em

329 7 0
                                    

Bukan gila, hanya jenuh? Tidak juga. Pastinya bukan sedang dilanda kegalauan tanpa akhir yang berimbas kata-kata getir. Mungkin, efek terlalu rajin bereproduksi melahirkan anakan kata-kata yang memenuhi separuh dindingmu, Em. Untuk itu kuucap maaf jika tak kau hendaki lagi cecoret yang tumpang tindih.

Terlalu jauh terpisah, Em. Secangkir teh yang terlalu dingin untuk dinikmati lagi. Kanvasku masih kosong sejak kepergianmu ke ujung bumi: tempat yang tak bisa kucari. Apa rona matamu masih sama? Berbayang perempuan yang tak ingin kulihat wajahnya--di matamu itu--yang tersenyum bahagia padaku.

Em, akankah hujan turun di gurun? Semalam aku berpikir--terlalu banyak--tentang alam, politik dan isi bumi yang makin merumit: sekusut namamu yang tak mau pergi juga kenangan yang bercokol lama sekali. Mungkin sebaiknya aku menjauhi aksara, agar tulisanku berhenti ngelantur, diksiku yang makin ngawur dan membuatmu kabur.

Aku hanya ingin tidur, Em. Tak ingin mendengar lagu-lagu buatku ingin bunuh diri. Dimana tombol off-nya, kucari tak ada. Belahlah otakku, Em, matikan lagu itu! Bila perlu, ambillah semuanya. Tempurung itu perlu kosong, tanpa kamu hidup disitu.

Em, jeda yang terlalu lama. Jarak yang terlalu rapat tapi tersisipkan. Bolehkan kulipat batas itu dan kuselipkan rindu yang terjaga tanpa akhir ini. Terlalu kejam, kau buatku menderita. Terimakasih untuk itu, Em! Sepahit apapun kopi itu, akan kuteguk juga. Jika perlu sekaleng gula dan berkotak krim, asalkan tertelan sempurna hanya untuk merasa hadirmu lagi.

Devania Pury, Februari 2016
Pertama kali ditulis: 18/3/14

Tanah Sehabis Hujan (Bagian Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang