148. SAJAK AINI: Pagi yang Entah

80 1 0
                                    

Ai, ini pagi paling dingin yang pernah kutemui hingga gigilkanku dalam sepi. Ada mimpi yang harus diakhiri. Saat semua janji telah pergi--tidak ditepati--aku hanya menggenggam ingin yang angin. Dalam secangkir kopi--yang tak kusuka, entah mengapa kuminum juga--dan setangkup roti yang mulai basi, kita serupa pasi.

Ai, Embun tak pernah mau jatuh lagi dari ujung daun. Ada isak yang masih marun--memerahi hati yang hati, terlalu rapuh--melekat erat pada subuh yang laun.

Ai, entah mengapa semua begitu membeku. Dunia terasa asing untukku. Hanya kudengar jerit yang bisu. Mungkin, aku yang sesungguhnya menunggu untuk benar-benar membiru lalu bercampur bersama ungu.

Ai, pagi ini kulihat dalam samar, seseorang berdiri di sudut kamar dan menatapku nanar. Aku gemetar saat kusadar bahwa pikirku benar.

Peluk aku, Ai! Pagi ini, sebelum aku benar-benar pergi

Devania Pury, Desember 2015
Pertama kali ditulis: 15/7/14

Tanah Sehabis Hujan (Bagian Satu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang