Bab 33 - Sang Dalang Taruhan

247 20 1
                                    

Hari ini hari Senin, hari dimana semua murid akan berkumpul dilapangan untuk melaksanakan upacara bendera. Terbayang matahari yg terik akan bersinar, membuat peluh-peluh mengalir dari dahi para siswa dan siswi.

Chelsea mengenakan topi upacaranya dan berkaca di cermin toilet. Senyumnya melebar, menatap pantulan di cermin dengan percaya diri.

'Kayaknya makin cantik..' pikirnya senang dalam hati

Kiran keluar dari salah satu bilik toilet. Ia berjalan kearah wastafel dan mencuci tangannya. Seketika ia merasa aneh, bingung dengan kebawelan Chelsea yg menguap entah kemana perginya.

"Chels? Waras lo?" tanyanya hati-hati sambil menaruh punggung tangannya ke dahi Chelsea. Lalu ia bandingkan dengan suhu di pantatnya.

"Sialan lo!" respon Chelsea. Tawa mereka meledak sesaat, tak peduli ada beberapa siswi yg menatap kearah mereka.

"Btw gue masa makin cantik ya? Iyakan Kiranti?" tanya Chelsea sambil menatap lurus kearah cermin, menampilkan senyum terbaiknya.

"OverPede!" Kiran melengos.

"Yeeee sirik. Dasar Kiranti."

____________________

chelseaPOV

Keringat terasa mengalir dibalik seragam putihku. Peluh mulai keluar dari dahi dan pelipis. Kiran yg berada di sebelahku mulai menunjukan muka melasnya, bertanya-tanya berapa lama lagi upacara akan selesai.

Memangnya apa harus kita menghargai jasa para pahlawan dengan melakukan kegiatan upacara? Karena kelihatannya itu hanya seperti rutinitas mingguan dan tahunan yg kita lakukan selama dua belas tahun berturut-turut lamanya. Kurasa tanpa upacara, kita pasti bisa menghargai jasa para pahlawan. Tapi ya, entahlah. Mungkin dibalik upacara ada sisi positif yg tak bisa kita lihat dan rasakan. Bukan hak ku untuk melarang upacara atau menjudge peraturan yg telah dibuat negara. Toh aku tidak merasakan kerugian selama ini.

Mataku menjelajah, melihat para siswa siswi yg ada disekelilingku. Ada yg mengobrol, bercanda, tidur berdiri, dan ada yg tetap dengan hikmat mengikuti upacara bendera ini dengan pandangan lurus kedepan dan badan yg tegap. Dan ada yg... melihat ke arahku?

Ku perkecil mataku, mencoba mencari tau siapa yg menatap tajam ke arahku. Muthia?

Aku langsung menghadap kanan,
"Yanto, tukeran tempat dong sama Rama. Gue pengen ngomong sesuatu yg penting sama dia. Tolong ya"

"Oke deh! Daritadi kek, gue kan pengen di belakang."

Rama berusaha lewat untuk mendapat barisan yg sejajar denganku.

"Apaan si?" tanyanya kepo

"Sinian deh. Keliatan gak si Muthia?" tanyaku sambil menariknya untuk berada di posisiku

"Ohh. Gue liat. Kenapa?"

"Dia ngeliatin gue tadi. Bukan pede atau apa sih, tapi gue ngerasa dia ngeliatnya kearah gue."

Aku melirik, mencari keadaan Davin. Dia berada dibarisan terakhir dan nampak sedang memejamkan mata. Ingin ku panggil, namun entah mengapa diriku enggan memanggilnya.

"Perasaan lo doang kali."

"Nggak kok!" jawabku keukeh. Pikiranku berkelana mencari tau apa yg terjadi. Dan seketika memoriku menarik ke bayangan dimana aku, Davin dan Rama berkumpul, membahas tentang Muthia.

ASTAGA! Jangan-jangan rekaman itu?

"Ram lo udah kirim rekaman itu ke Davin?"

"Udah lah."

Sewindu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang