Bab 42 - Dua Ketakutan

198 15 5
                                    

Setelah menatap kepergian Rama, aku masuk kedalam.
Aku tau kedua orang tuaku melihatku menangis,

"Kamu mau cerita?"

Aku menggeleng,
"Bukan masalah besar, cuma soal perasaan. Aku bakal coba beresin sendiri." Jelasku sopan, kaki ku langsung menanjak anak tangga menuju kamarku. Kututup pintu perlahan.

Aku takut. Aku bodoh. Aku egois. Bagaimana aku bisa meminta Rama untuk tetap jadi sahabatku? Permintaanku sangat bodoh, membuatku terlihat seperti perempuan yg tidak berakal.

Tanganku menggapai smartphone yg ada diatas kasur, segera aku menelepon Rama. Panggilanku masuk, namun tak digubrisnya. Aku mencoba meneleponnya lagi, sambil menunggu jawaban aku menepis kasar air mata yg bodoh ini. Aku menggigiti kuku ku, tidak sabar akan jawaban dari seberang sana. Namun nihil. Aku harus apa? Kucoba lagi untuk menelepon Rama berkali-kali, kembali lagi dengan hasil yg sama.

Akhirnya kuputuskan untuk menelepon Kiran.
"Ki, tadi Rama kerumah gue."

"And then? Dia nembak lo? Lo terima ya?!" Kiran bertanya girang, terdengar dari nadanya

"Nggak. Awalnya dia dateng buat minta bantuan kerjain mtk bu arneli. Tiba-tiba, dia tanya apa perasaannya ke gue salah. Gue jawab salah. Dan gue minta dia untuk nyingkirin perasaannya-" jelasku perlahan

"Hah? Terus?" Kiran terdengar kaget

"Dan bodohnya gue minta dia tetep jadi sahabat gue walaupun dia udah tau gue gak bakal bisa bales perasaannya." Tuturku dengan penuh penyesalan

"Chels, serius? Terus dia gimana?"

"Dia pergi dari rumah gue."

"Chels, lo tau? Lo sukses jadi cewek kejem. Kedengerannya lo tuh.. selfish banget!" ku dengar Kiran menghembuskan napasnya kasar, tapi kata-katanya benar. Aku sukses jadi perempuan kejam yg egois. Harusnya aku tidak berkata gitu kepada Rama, itu pasti menghancurkan hatinya.

"Gue harus apa?" tanyaku tanpa harapan

"Mungkin efeknya, lo bakal di diemin. Satu minggu? Dua minggu? Satu bulan? Gue gak tau. Tapi yg jelas, Rama gak akan ngobrol sama lo kalo suasana hatinya masih ancur."

"Ki, gue minta saran. Bukan efek samping dan sebagainya!" aku mulai emosi

"Ya, gue mau bantu. Tapi bantuan apa yg harus gue kasih kalo keadaannya begini? Lo mau gak mau ya... diem aja. Gak ada lagi yg harus lo lakuin, Chels." Nadanya menurun, memperdengarkan keprihatinannya terhadapku yg dilanda rasa putus asa.

"Seriusan Ki? Gue bener-bener hopeless banget." Aku menatap cermin, muka ku kacau sekali. Air mata dimana-mana, dan rambut yg menempel dimana-mana juga tentunya.

"Gue serius lah. Gak mungkin bercanda disituasi kayak gini. Nih ya, lo besok liat aja situasinya. Kalo Rama bener-bener diemin atau ngehindar dari lo, ya lo harus kasih dia waktu buat nata hatinya yg udah lo ancurin." Baik, aku yg menghancurkan hatinya? Oh ya ampun! Bodoh sekali

Ku matikan sambungan telepon dengan Kiran. Aku menaiki kasur dan menatap langit-langit kamarku. Teringat masa SMA yg akan berakhir, tapi permasalahan mulai muncul dimana-mana. Otak ku berpikir, tidak menyangka hal-hal seperti ini bisa terjadi. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan teman-teman baikku.

--------------------------

Sampai disekolah, aku turun dari motor Davin. Setelah menitip helm, aku segera beranjak pergi.

"Chels tunggu!"
Aku menengok kebelakang, melihat Davin yg sedang menyisir rambutnya yg sudah mulai panjang di kaca spion. Kumis tipisnya semakin tebal, membuat kadar ketampanannya makin bertambah. Buru-buru ku alihkan pandanganku kearah lain, takut tertangkap basah sedang melihat dirinya dengan muka merah padam.

Sewindu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang