Bab 28 - Bertamu ke rumah Rama

367 26 3
                                    

Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.
Jantungku berdegup cepat, berusaha merangkai kata-kata yg akan ku ucapkan pada Davin mengenai pacarnya yg mendua. Klasik memang. Dan bisa saja ku kompori berita panas ini. Tapi aku tak bisa.

Lebay emang. Tapi beginilah aku. Ketemu Davin aja udah dag dig dug. Gimana kalo ngomong serius sama dia dan natap matanya? Jantungku copot ntar!

Kaki ku berjalan bulak-balik didalam kamar. Seragam putih abu-abu masih terpasang ditubuh. Pintu kamar dan pintu balkon ku kunci. Jendela ku biarkan terbuka agar oksigen dapat terus memasok udara kedalam paru-paru ku.

Berpikir ayo berpikir! Bagaimana agar aku dapat meyakinkan Davin atas penjelasanku? Kalo dia tau aku buntuti pacarnya, apakah dia bakal marah? Mungkin jawabannya iya. Bagaimana ini?

Ku ambil smartphone diatas rak buku. Jariku terus mencari nama Kiranti, sahabat yg paling tau segalanya.

Calling Kirantinyedhluv❤

"Apa nyedh?" sahut Kiran dari seberang sana

"Eh santai dong.."

"Hehehe whats up Chels?"

"Need your help now Ki" kataku dengan logat sedih

"Butuh bantuan apa kali ini kakak? Kalo kamu suruh aku kerumahmu jawabannya tidak yaaa karena aku lagi pewe dikamar cantikku." jawab Kiran dengan nada centil yg dibuat-buat. Sumpah jijik abis.

"Kiraaaann gimana nih cara ngomongnya ke Davin?"

"Lo mau nembak dia?"
Aku mengernyit, kemana arah pembicaraan ini?

"Bukan. Tentang Muthia."

"Bilang aja sesuai sama apa yg lo liat dan denger. Terus lo kasih bukti dan selesai deh. Rempong amat sih bu."

"Kalo dia marah? Ish Kiran, lo tau kan gue pernah berantem sama dia gara-gara gue bilang kalo seharusnya Muthia minta maaf ke gue langsung?"

"Oh tau lah. Perang hebat tuh" ucap Kiran disusul kekehan. Aku mengabaikan jawabannya.

"Ya kalo dia marah gitu lagi? Trus diem-dieman? Males banget gue."

"Ya itu resiko lah. Udah ya eke mau ngerjain pkn dulu. Bye."

Aku terduduk lemas di ranjang bersepraikan transformers. Seprai itu hasil curianku dari kamar Davin.

Aku terkekeh mengingat masa-masa kami berdua, udah seperti dua orang yg berpacaran. Tapi aslinya mah gak ada hubungan apa-apa sama sekali. Menyedihkan ya? Masa bodoh.

Yg harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana cara menyampaikannya.

Aku melongok ke luar jendela dan berusaha menggapai jendela kamar Davin yg masih tertutup. Ku ketuk tiga kali. Ku lempar jendela itu dengan penghapus karet namun tetap nihil, tak ada jawaban.

Kaki ku melangkah mencari tas sekolah dan mengambil smartphone. Ku buka aplikasi Line dan mencari akun Davin. Ku pencet pilihan free call. Sambil menunggu telepon terhubung, aku berganti pakaian.

"Halo?" suara berat Davin telah masuk ke dalam pendengaranku.

"Lo dimana Vin? Lagi diluar ya?" aku rebahan di ranjang.

"Iya, lagi makan nih sama yayang. Mau nitip apa gak?"

What? Yayang?
Muka ku langsung suram.

"Es krim boleh. Sekotak tapi." pintaku

"Oke. Bye, see you ntar."

Sekarang aku bingung harus apa. Bermain? Aku tidak punya teman. Inilah nasib seorang anak tunggal. Apa aku harus minta adik pada kedua orang tuaku? Rasanya tidak mungkin.

Sewindu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang