Bab 44 - Bimbang

126 13 2
                                    

Hari ini tempat duduk kami berotasi. Aku duduk di barisan 3, meja kedua dari belakang. Meja Davin menyerong dari arahku, dia ada di meja kananku lalu di depannya. Longkap dua meja di depanku, ada Rama dan Adit.

Aku masih berusaha memperhatikan pelajaran bahasa Indonesia ini. Aku mengangguk-angguk paham, walaupun pikiranku sekarang melayang entah dimana. Kiran menyenggolku.

"Ngapain lo manggut-manggut gitu?"

"Hah? Gue?" Tanyaku padanya

"Lah iya! Gue kan nyenggol lo suè. Artinya gue lagi tanya lo lah." bisik Kiran padaku

"Ohh.. gue paham maksudnya Ki." Jawabku dengan suara toa. Tunggu, sepertinya aku salah.

"Ya Chelsea? Silahkan tulis contoh kalimat dari materi yg saya jelaskan tadi." Pak Banu mempersilahkan untuk maju. Oh tidak, aku sama sekali gak ngerti apa-apa! Aku menengok ke Kiran dengan wajah panik,

"Katanya lo paham. Maju sana. Ntar diomelin Pak Banu loh.." Kiran menatapku jahil, kubalas dengan pelototan.

"Ki, gue paham bukan tentang materinya tau! Kasih tau dong!"

"Ayo Chelsea, kerjakan di papan tulis. Bukan diskusi sama teman kamu. Cepat." perintah Pak Banu menginterupsiku yg sedang memohon ke Kiran

"Maju sana. Gue eja-in. Betapa baiknya gue sama lo."

Aku dengan gembira maju ke depan, menengok dengan pasti kearah Kiranti untuk mendapat jawaban. Ku tulis kata per kata.

"Udah pak." Kataku sopan

"Coba bacakan!"

"Jika hari ini tidak hujan, saya akan ke rumah Kakek. Ini adalah Premis mayor. Kalimat kedua, Hari ini tidak hujan. Ini adalah premis minor. Kalimat ketiga, Maka, saya akan kerumah paman. Yg adalah kesimpulan." Ucapku mantap. Pak Banu mengangguk, menyuruhku kembali duduk.

"Terima kasih Kiranti." Ucapku pada Kiran dengan senyum penuh perasaan syukur

"Lo utang cerita sama gue. Jangan lupa." Katanya galak. Aku hanya bisa menunduk ketakutan dan pasrah

Istirahat berbunyi. Kulirik kearah Davin yg akan keluar kelas, dia pasti mau nyamperin Dian. Aku hanya bisa menghela napas. Dan Rama berdiri berbarengan Adit. Aku benar-benar tidak nyaman dengan keadaan seperti ini.

"Jadi?"

Aku menatap Kiran kebingungan, tak paham apa yg ia pertanyakan. Aku kembali mengunyah bekal ku.

"Ih nih orang rese ya! Kan lo utang cerita, masa lupa?!" Kiran menyendok nasi dengan kesal kearah mulutnya.

"Ya ampun Ki, gue gak mudeng. Kan lagi makan. Lo mau apa gue pas ngomong nasinya muncrat?" Aku menyendok bekal ku lagi

"Sans lah... udah biasa gue di biadab-in sama lo. Jadi?"

"Lo tau gak Davin udah jadian?" Tanyaku berbisik ke telinganya

"Nasi lo masuk kuping gue ya? Kayak ada yg mental si?" Aku menatapnya jengkel, ia membalas dengan cengiran.

"Gue tau. Kenapa emang?"

"Kok kenapa emang?! Ya gue apa kabar Ki?! Lo gak nanya apa?" Kataku kesal dan kembali melanjutkan mengunyah

"Nah ini, ini nih yg gue tunggu. Jadi apa reaksi lo?"

"Ki jangan ajak ribut sekarang deh. Gue jotos, jotos beneran ini." Ucapku malas

"Pedih ya?"

"Ki! Gue udah ngingetin." Jelasku

"Ya terus gimana kalo doi lo udah jadian? Lo pasti harus move on kan? Wajib lah."

Aku berpikir sambil mengunyah. Move on? Sepertinya akan berat. Masalahnya adalah, aku bisa saja move on. Tapi perasaan sesak ini selalu menggangguku. Itu masalah besarnya. Aku dapat pencerahan,

"Ki, gue mau nyatain perasaan gue ke dia." Aku menatap ke arah papan tulis yg penuh catatan bahasa Indonesia

"Hah?! Serius?!" Ku bekap mulut lebarnya

"Jangan gede-gede!" Omelku. Ku turunkan tanganku dari mulutnya.

"Sial. Makan ikan lo? Tangan gue kena amis lagi." Kesal ku sambil mengintip kotak makan Kiran

"Hehe, lagi lo main bekep aja. Tapi serius lo mau nyatain perasaan lo?"

"Setidaknya gue lega Ki, rasa yg udah gue pendam beberapa tahun terakhir ini bisa gue ungkapin. Dan semoga gue lebih gampang buat maju. Gak ngestuck sama dia terus." Jelasku padat

"Tapi lo gak mikir resikonya?"

"Gak usah bahas resiko Ki. Lo tanya gue berani atau nggak buat ngomong aja gue udah ciut." Celoteh ku sembari tertawa kecil, membuat Kiran menoyor kepala ku.

"Gue pikir lo udah siap. Taunya ciut pas belom berangkat perang."

"Ya gimana dong Ki? Gue berasa bener-bener gak ada harapan lagi. Bener-bener jalan buntu. Ekspetasi yg udah gue buat taunya gak sesuai sama realita. Gue mau gak mau harus ngeruntuhin ekspetasi itu kan?" Tiba-tiba selera makan ku hilang. Langsung ku tutup bekal ku dan meneguk air putih sebanyak-banyaknya. Mata ku memanas.

"Jangan nangis. Sini peluk." Kiran menarikku. Air mataku menetes.

"Chels, udahan. Jangan nangis di sekolah gini. Lo kuat kok. Ini masalah kecil buat lo. Lo pasti bisa ngelewatinnya."

"Makasih. Lo bestie gue banget" Ucapku sambil memeluk Kiran erat.
--------------------------

Sampai dikamar, aku rebahan. Menengok ke langit-langit kamar. Foto-foto yg ku gantung diatas sana sudah ku tanggalkan. Aku tidak mau terus-terus an merana karena Davin sudah jadian dengan Dian.

Aku berpikir keras. Apakah aku harus menyatakan perasaanku kepada Davin? Setidaknya itu akan membuat ku lega bukan? Sehingga aku tidak terjebak dalam zona tak nyaman seperti sekarang.

Tapi, apa resikonya? Resiko terbesar dan terparah adalah Davin akan menjauhi aku. Sepertinya itu yg terburuk. Dia akan mendiamkan aku sama seperti Rama mendiamkan aku.

Astaga Rama! Dia membuatku merana juga. Mendiamkan ku begitu saja. Aku tau aku yg salah. Tapi sungguh aku tak ingin menyakitinya! Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku sudah nyaman dengan Rama, walau rasa nyaman ku seperti seorang kakak dan adik. Seperti sahabat yg benar-benar mengerti aku.

Kepala ku terasa pusing memikirkan segala hal ini. Pr ku menumpuk. Latihan untuk Ujian Nasional mulai menghampiri. Aku harus belajar mati-matian agar dapat masuk ke Universitas Negeri. Setidaknya membuat orang tua ku bangga dan meringankan beban biaya kuliah.

Jadi, apakah aku perlu bicara pada Davin?
____________________

Ngetik part ini cukup mantap sih sekitar 35 menit an. kupersembahkan part 44 kepada readers yg setia nge vote dan dukung cerita ini.

Tanpa kalian, cerita ini bukan apa-apa gais! *peluk satu-satu*

Jadi gimana nih, Chelsea perlu gak sih jujur sama Davin tentang perasaanya? Lo pernah gak ngalamin hal serupa? Cerita dong di kolom komentar;)

Sekian yap. Lagi sedih nih saya gak bisa nonton si selena konser. Gapunya duit hiks bayarin kek;p

Salam,
Dian Sastro.

Eh maaf ya, lagi galau gara gara selgom
~shyerenmgtha

Sewindu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang