sixteen

972 40 0
                                    

Dengan langkah gotai Alifah berjalan menuju parkiran, sudah dini hari dan dia baru pulang kuliah, rencana awal memang pulang jam 12 tapi tergantung dosen yang mengajar juga.

Ia membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kencang, persetan jika pintunya rusak. Segera saja dia pergi menuju tempat yang selama dua bulan ini selalu dikunjunginya selepas pulang kuliah.

Yaa caffe yang dia temui saat sedang berkeliling kota bandung, caffe itu buka 24 jam. Bentuknya yang sederhana dan terkesan natural merupakan sisi menarik dari tempat itu.

Alifah selalu kesana mungkin tempat itu membuatnya merasa nyaman, dan tidak pernah mengecewakannya. Bisa dibilang tempat itu cocok dijadikan sebagai tempat pelariannya.

Dia memarkirkan mobil dan masuk ke dalam caffe, sosoknya yang selalu datang kesana di jam yang sama membuat dirinya dikenal oleh pelayan disana.

Gadis itu masuk ke dalam dan duduk di tempat yang biasa dia tempati, kemudian pelayan datang menanyakan apa saja yang ingin di pesan.

"lemon tea-nya tolong sama kue coklat"

Sudah menjadi kebiasaannya saat berkunjung disana yaitu mengisi waktu dengan mendengarkan musik melalui earphone sambil membaca novel.

Sesekali jika ia merasa bosan, disekitarnya disuguhkan pemandangan yang tak kalah menarik, hingga pesanan yang ditunggu pun datang.

Langsung saja diletakkan buku dan earphone ke atas meja, diambilnya garpu dan mulai memakan hidangan dihadapannya untuk mengembalikan moodnya.

Kemudian, Alifah termenung menatap langit malam entah mengapa tiba-tiba dia tidak berselera membaca bukunya lagi ataupun menyantap makanannya lagi.

Ia menatap ke arah langit sambil menyesap minumannya perlahan demi perlahan, ditopang dagu nya dengan menggunakan kedua tangan.

Ditengah kegiatan melamunnya, ada seseorang yang menepuk bahunya membuat Alifah berjingkat kaget.

Ia pun menengok menghadap orang yang menepuknya, ingin mencari tau siapakah orang itu? Alifah menatap terkejut terhadap sosok dihadapannya setelah melihatnya.

Pria dengan gestur tubuh tinggi dan berkulit putih serta kacamata yang bertengger manis di hidung mancungnya menambah kesan dewasa pada dirinya ditambah wajahnya yang ramah.

"Tian!?" Serunya dan langsung bergegas bangun dari duduk.

"Ini Tian kan?!" sosok yang dihadapannya mengangguk lalu tersenyum lembut yang sama-sama saling memandang rindu.

"Ya ampun, ternyata lo ngilang kesini" Alifah langsung memeluk pria yang dipanggilnya Tian itu dan dibalas juga olehnya.

"Ini kan negara asal gue juga," Tian melepaskan pelukannya.

"Tambah keren yaa lo, dulu kan culun abis cuman gue seorang yang setia menemani lo"

"Dari dulu kali gue keren kemana aja lo?" Tian menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan "Enak aja emang temen gue disana lo doang dikata gue kuper kali"

"Boleh dong cerita kenapa lo bisa menghilang gitu aja?"

Tian menadahkan telapak tangannya di bawah langit "gerimis nih di ruangan gue aja yaa?"

"Udah disini aja"

"Ntar sakit loh kayak waktu itu"

"Gapapa, lagi pengen sakit juga biar diperhatiin"

"Dari dulu tuh sebutan kepala batu gak pernah lepas dari lo" Tian menarik tangan Alifah membawanya menuju ke lantai dua gedung indoor caffe, menaiki anak tangga yang melingkar hingga keruangannya yang hanya dibatasi pintu berbahan kaca.

Mempersilahkan Alifah untuk duduk di sofa dan dia duduk disampingnya,
"Mau minum apa?"

"Hot chocolate aja"

Tian memencet tombol intercom telpon diatas nakas disampingnya yang langsung terhubung ke ruang dapur dibawah.

"Tolong bawakan dua hot chocolate ke ruangan saya"

Alifah menunggu Tian untuk meminta cerita dari pria yang menghilang begitu saja dan sekarang sudah menjadi pengusaha sukses.

"Ok waktu itu gue mutusin berhenti kuliah karena bokap gue kritis dan gue harus balik kesini, trus gak sempet ngabarin lo karena buru-buru. Penyakit kanker paru-parunya tidak bisa ditolong lagi, bokap gue meninggal dan pesan terakhirnya dia mewariskan perusahaannya ke gue walaupun gue gak suka menjalaninya tapi gue harus karena adek gue waktu itu masih umur 16 tahun dan gue berhenti kuliah untuk mulai belajar menjadi pengusaha"

"Gue turut berduka buat bokap lo dan caffe ini milik lo?"

"Iya gue yang bangun caffe ini dan mendesainnya sesuai dengan selera lo"

"Oh ya ampun sahabat gue yang satu ini so sweet banget, terlalu kangennya sama gue sampe desainin caffe sesuai selera gue"

Alifah menarik kedua pipi Tian dengan gemas "dan gue juga suka caffe ini makasih yaa tempat ini bisa jadi pelarian buat gue"

"Iya sama-sama, menu nya juga banyak cocok buat lo yang tukang makan"

"Sialan. Gak usah jujur-jujur amat apa"

Pelayan masuk dengan mengetuk pintu sebelumnya dan setelah dipersilahkan masuk, meletakkan minuman di atas meja lalu segera keluar dari ruangan itu

"Well jodoh gimana? Udah nemu?" Alifah mengedipkan sebelah matanya ke arah Tian.

"Gue masih 23 tahun udah ngomongin jodoh aja"

"Lo udah gak perlu belajar, udah sukses jadi pengusaha nih jadi fine aja kalo cepet-cepet married "

"Jodoh lo udah ketemu belum?" Tanya Tian balik.

"Helooo gue masih mahasiswa lo aja duluan yang udah mapan, nanti gue yang bantu cariin deh"

"Gue maunya yang kayak lo tapi gue gak mau sama lo"

"Lo pikir gue mau sama lo?" Alifah menarik rambut Tian "berarti dulu lo suka yaa sama gue?" ledek Alifah.

"Idih kepedean" jawab Tian santai "mana mungkin gue suka sama manusia setengah iblis kayak lo"

"Untung aja lo sahabat gue"

"Jam tiga gini kenapa masih berkeliaran di luar?"

"Gue jadi makhluk nocturnal sekarang,"

"Gak baik keluyuran malem malem gini apalagi sekarang udah hampir pagi"

"Gue ada kuliah malem, keren gak tuh, siang malem kuliah terus"

Alifah melihat ke arah jam dinding yang berada tepat di atas televisi "udah jam setengah lima gue balik yaa?"

"Mau gue anterin?"

"Gak usah gue bawa mobil sendiri"

"Diluar masih hujan" Tian membuka laci dan mengambil payung lipat di dalamnya "ayo gue anterin, gue juga mau balik"

Mereka berdua turun ke bawah beriringan berdiri sebentar di depan pintu masuk menunggu Tian untuk membuka payung, kemudian berjalan berdampingan di bawah naungan payung yang melindungi dari tetesan hujan.

"Lo selalu punya persiapan dari dulu"

"Harus dong sedia payung sebelum hujan"

Tian menunggu Alifah masuk ke dalam mobilnya terlebih dahulu, masih setia memegangi payung agar sahabatnya sewaktu di Jerman ini tidak kehujanan "makasih yaa byee Tianku tersayang"

"Iyaa, jangan ngebut-ngebut,"

Setelah itu baru Tian masuk ke dalam mobil dan pergi menuju rumahnya.

Love Different Religion (On Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang