Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, mereka kembali ke rumah masing-masing, lebih tepatnya setelah bunda menyuruh Annisa untuk segera pulang bersambung dengan Alifah dan Eka yang juga ikut pamit.
Mereka bertiga berpisah di parkiran, dengan menjalankan mobilnya menuju rumah masing-masing. Alifah tampak sangat bosan saat ini, dia sedang tidak ingin pulang ke rumahnya. Buat apa juga pulang? Toh rumahnya begitu sepi dan tidak ada yang menunggunya pulang disana.
Orangtuanya sudah seperti mesin pencetak uang yang selalu bekerja 24 jam dan hanya bisa mengirimkannya uang setiap bulan. Walaupun dia tipe orang yang cuek tapi tetap saja jauh di lubuk hatinya terdalam, dia menginginkan sesuatu seperti keluarga lainnya bahkan terakhir kali dia berkomunikasi dengan orang tuanya mungkin sekitar sebulan yang lalu.
Dia memutari seluruh penjuru kota dan berakhir di suatu tempat yaitu Caffe yang terletak di daerah perbukitan dan beratapkan langit malam yang bertaburan bintang diatasnya di tambah sinar rembulan yang menjadi pencahayaan. Setelah cukup lama berputar-putar, dia menemukan cafe ini dan sedikit tertarik karena pemandangannya itu, langsung saja dia memarkirkan mobil dan masuk ke dalam.
"Hot chocolate satu, udah itu aja" pesannya kepada seorang pelayan disana, dia sedang butuh pengalihan saat ini.
Sebenarnya Alifah ingin memesan segelas wine tapi diurungkan niatnya itu karena faktor agama yang melarangnya, pernah sekali dia mencobanya karena dia sangat stress walaupun hanya sedikit dan itu benar-benar bisa mengalihkan pikirannya.
Angin malam terasa dingin menusuk dan juga menerbangkan beberapa helai rambutnya, walaupun dia merasa dingin tapi dibiarkannya hal itu dan dia juga tidak suka memakai jaket karena merasa risih.
Alifah memandang ke arah langit, perasaannya sedang berkecamuk saat ini. Minuman pesanannya pun tidak tersentuh sama sekali, ia hanya diam membisu sibuk dengan pikirannya, pernah sekali dia berpikir saat masih berumur 13 tahun, kenapa Tuhan tidak adil kepadanya? kenapa takdir hidupnya seperti ini? kenapa dia terlahir di dunia ini? Dia iri dengan kehidupan teman-temannya, mereka bisa berkumpul lalu makan malam bersama kedua orangtuanya di rumah.
Tapi itu hanya sebatas pemikiran kekanakannya yang tidak mempercayai dirinya sendiri, saat ini dia sudah dewasa dan mampu mengatasinya.
Walaupun berbagai perasaan berkecamuk di hatinya tetap saja dia tidak bisa menangis, mungkin terakhir kali ia menangis saat berumur 13 tahun. Dia selalu berpikiran bahwa menangis itu hanya untuk anak kecil dan orang lemah. Dia juga tidak mau mengeluarkan air matanya karena sangat benci dikasihani oleh orang lain seolah-olah dirinya terlihat sangat lemah.
Gadis itu selalu saja membentengi dirinya agar tidak terlihat rapuh di depan orang lain, tapi walau sekuat apapun benteng pertahanannya tetap saja tidak bisa menyembunyikan kerapuhan dibaliknya.
Alifah mendongakkan kepalanya saat bahu-nya ditepuk seseorang dari belakang.
"Putra!?" Serunya."Udah gue tebak pasti itu lo, boleh gue duduk?"
"Iyaa" dan Putra langsung duduk dihadapannya.
"Ngapain lo disini?" tanya Putra.
"Menurut lo?"
"Sama kayak gue"
"Hmm" Saat ini Alifah sedang tidak ingin bicara jadi hanya ditanggapinya ucapan Putra dengan jawaban singkat.
"Semenjak 'kejadian itu' gue jadi deket sama Rafa dan dia juga suka cerita ke gue tentang lo" ucap Putra dengan penekanan di setiap kata.
"Trus??" Alifah mengangkat sebelah alisnya karena tidak mengerti arah pembicaraan manusia dihadapannya ini.
"Kayaknya lo jadi datar gini yaa? Apa karena kejadian itu?"
Alifah mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini "Please deh itu masa lalu dan gak usah di ungkit lagi karena menurut gue udah gak penting"
"Ohh oke calm down" Putra tertawa garing dan Alifah hanya menatapnya datar saja "lo gak ada niat maafin dia? Kayaknya dia frustasi banget"
"Udah gue maafin. Udah gak usah di bahas lagi lo ketemu sama gue setelah lima tahun cuma bahas begituan doang... cih emang lo gak kangen sama gue apa??"
"Hahaha kangen?! Sama lo?! Kurang kerjaan banget"
"Yaudah gue juga gak kangen sama lo" Alifah mengangkat tangannya untuk meminta bill setelah membayarnya dia segera pulang tanpa perlu repot pamit kepada Putra.
Alifah langsung masuk ke dalam mobil untuk segera pulang ke rumahnya, tempat itu terletak lumayan jauh karena berada di daerah perbukitan.
Setelah memarkirkan mobilnya di dalam garasi. Dia membuka pintu rumah, terlihat suasana di dalamnya sangat gelap karena semua lampu telah dimatikan.
Alifah berjalan cepat menuju ke kamarnya, hanya mencuci mukanya dan sikat gigi lalu mengganti pakaian dengan piyama dan mematikan lampu agar dia bisa tidur mengingat jika besok dia ada kelas pagi. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan rutinitas keseharian yang lama-kelamaan terlihat sangat membosankan baginya.
Gadis itu butuh sesuatu yang baru di dalam kehidupannya yang tidak menarik ini. Ia butuh sesuatu yang bisa menghidupkan hatinya dan membuatnya bisa merasakan bagaimana kehidupan seharusnya berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Different Religion (On Revision)
RomanceBukan cerita religi!! Cuman cerita gak jelas. Dibuat pas zaman SMP, pengen hapus tapi sayang... Takdir mempertemukan Alifah dengan Nathan yang berbeda keyakinan dengannya itu, berawal dari Alifah yang menemukan Nathan tergeletak lemah di pinggir jal...