63. Kegalauan Diri Sang Sumoay

2.6K 64 0
                                    

"TETAPI setelah bertemu denganmu, tiba-tiba kurasakan semua peristiwa itu sudah lampau. Seratus kali bahkan seribu kali kuceritakan, pun tiada gunanya. Karena itu tak ingin lagi kukatakan. Ya, aku takkan mengatakannya lagi!"

"Mengapa?" tanya Siu-lam.

"Sesungguhnya kedatanganku ke Siau-lim-si sini mencarimu, juga suatu hal yang tiada artinya. Mati hidup itu hanya semacam awan di langit. Betapa besar nama seseorang dan betapa tinggi kedudukan seseorang, akhirnya pasti akan mati laksana sebutir pasir jatuh di dalam lautan. Ah, jika saja semula sudah kusadari hal itu, tentu aku takkan mencarimu lagi!"

"Siau-heng benar-benar tak mengerti maksud sumoay."

Hui-ing kisarkan tubuh, serunya: "Aku hendak pergi, harap suheng suka menyisih."

Tetapi Siu-lam malah lintangkan tangannya menghadang, serunya: "Sudah beberapa bulan kita tak bertemu. Banyak sekali yang hendak kukatakan. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa hendak pergi?"

Hui-ing menyurut mundur lagi, serunya: "Cukuplah! Yang lalu telah berlalu. Dan yang akan datang, belum dapat kita ketahui. Apa yang harus dibicarakan lagi?"

"Siau-heng hendak berkata banyak sekali."

"Jika aku tak suka mendengarkan?" kata Hui-ing dengan nada berat.

Siu-lam tertegun: "Apakah benar-benar sumoay membenci siau-heng? Dan memutuskan hubungan kita? Aku Pui Siu...."

"Jangan mengatakan hal itu! Engkau memegang janjimu tadi atau tidak?" tukas Hui-ing.

Sama sekali Siu-lam tak menyangka bahwa sumoaynya yang dahulu begitu lemah lembut, tiba-tiba berubah menjadi sedemikian dingin. Hanya beberapa bulan tanpa berjumpa tampaknya sumoay itu sudah berubah sama sekali.

Agaknya sumoay itu tercengkam dalam dunia kebatinan dimana ia dapat menyadari arti diri pada hidup ini. Hidup yang tak lebih merupakan suatu bayangan kosong.

Karena terbenam dalam menilai diri sang sumoay, Siu-lam sampai lupa untuk menjawab.

Hui-ing tertawa dingin, serunya pula: "Tadi engkau sudah berjanji hanya bertemu sebentar lalu pergi. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak menyeret aku dalam pembicaraan yang berlarut-larut? Hm, menyingkirlah, aku hendak pergi!"

Tanpa membuka lengan baju yang menutupi mukanya, gadis itu mulai ayunkan kakinya, menyapu kaki Siu-lam.

Siu-lam terkejut. Buru-buru ia menyingkir ke samping dua langkah.

Dan cepat sekali Hui-ing sudah melesat keluar. Kemudian ia membisiki gadis yang menghunus pedang tadi: "Cici, halangilah ia!"

Gadis baju hitam itu mengiyakan dan cepat menghadang di depan pintu. Sekali gerak, ia sudah lancarkan dua buah serangan.

Cepat dahsyat bukan kepalang. Jika hal itu terjadi beberapa bulan yang lalu, Siu-lam pasti sudah terluka.

Sehabis menyerang, gadis itu segera loncat keluar dan menyusul Hui-ing.

Dengan kerahkan semangatnya, Siu-lam segera mengejarnya seraya berseru nyaring: "Hai, penjagaan gereja sangat ketat sekali. Jika sumoay hendak pergi, biarlah kuantarkan keluar!"

"Tak usah, dapat datang kemari sudah tentu kamipun dapat pergi keluar sendiri!" sahut si gadis hitam bersenjata pedang itu dengan dingin.

Mereka bergerak dengan cepat sekali. Dalam pada bicara itu, mereka sudah keluar dari hutan.

Saat itu hujan sudah berhenti sama sekali. Langit penuh dengan bintang.

Tiba-tiba empat sosok tubuh yang mengenakan jubah paderi dan mencekal tongkat, muncul berjajar-jajar menghadang di tengah jalan.

Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang