Hian-song menengadah dan tertawa mengikik. "Kita pergi ke tempat yang sunyi, ya sunyi sekali. Disana hanya terdapat kita berdua saja...."
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Sudah sehari untuk engkau tak makan. Makanlah dulu baru nanti bicara lagi."
Diam-diam Siu-lam memperhatikan bahwa sikap dan nada ucapan Hian-song saat itu berubah tak sewajarnya. Apakah ia sudah dapat membebaskan diri dari keresahan soal asmara? Demikian Siu-lam menduga duga girang. Siu-lam pun segera makan hidangan itu.
"Kenyang?" tanya Hiau-song.
Siu-lam mengiakan.
Tiba-tiba jari dara itu menutuk tubuh Siu-lam lagi. Belum sempat pemuda itu bertanya, ia sudah pingsan lagi. Demikian hal itu berulang-ulang terjadi sampai beberapa hari. Siu-lam tersadar, disuruh makan lalu ditutuk jalan darahnya lagi. Setiap kali tersadar Siu-lam menanyakan tempat ia berada tetapi selalu dijawab tak jelas oleh Hian-song.
Hari itu kembali Siu-lam tersadar. Ketika membuka mata, ia terperanjat. Kiranya kedua lengan dan kedua kakinya telah dirantai. Begitu pula dadanya diikat dengan tali urat kerbau. Dia hanya diberi kelonggaran untuk dapat duduk.
Pedang Hian-song dan benda-benda perbekalannya ditaruh tak jauh sebelah muka. Tetapi dara itu entah dimana. Kini Siu-lam tersadar bahwa dirinya akan mengalami keadaan baru. Keadaan yang penuh dengan siksa derita.
Suatu pengalaman yang akan menghias lagi sejarah hidupnya. Untuk itu ia harus berlaku setenang mungkin. Siu-lam pejamkan mata dan menyalurkan peredaran darahnya untuk menekan kemarahan yang mulai meluap.
Kira-kira sepenanak nasi lamanya, tiba-tiba terdengar derap orang mendatangi. Ia berpaling. Tampak Hian-song dengan wajah berseri-seri mengeluarkan pakaian baru, melangkah masuk. Sejenak dara itu memandang Siu-lam dengan tertawa "Pui suheng, engkau sudah tersadar?"
Siu-lam sudah memperoleh ketenangannya kembali. Ia menginsyafi bahwa tak perlu ia mengumbar kemarahan. "Sudah beberapa saat," sebutnya tawar.
Hian-song berjongkok dan tertawa ramah, "Kini kedua lengan dan kakimu terikat rantai. Makan dan berpakaian harus kubantu!"
Dengan sekuat usaha Siu-lam menyahut setenang mungkin, "Entah apakah maksud sumoay mengikat diriku begini?"
"Mengapa masih bertanya lagi?"
"Bagaimana kutahu kalau tak bertanya?" bantah Siu-lam.
"Engkau memang tak bersalah padaku. Hanya kutakut engkau berobah hatimu. Ai, aku hendak merawatmu selama-lamanya. Terpaksa banya menggunakan cara ini!"
Siu-lam kerutkan alis dan tertawa hambar, "Kusadari sedalam-dalamnya maksud sumoay kepada diriku. Tetapi sumoay telah melalaikan suatu hal."
"Apa?"
"Tali rantai yang berat ini hanya dapat mengikat jasmaniku. Tetapi tak dapat merantai hatiku!"
Hian-song terkesiap, ujarnya rawan, "Jika tak memakai cara itu, mungkin orangnyapun tak dapat kukuasai."
Siu-lam tak mau mendesak lebih lanjut. Ia kuatir dara yang sedang dimabuk kepayang itu akan salah paham jika mendengar kata-kata yang tak berkenan pada hatinya. Ia memutuskan untuk memberi penjelasan secara pelahan-lahan.
Kembali Hian-song berkata dengan ramah, "Aku sudah membeli bermacam-macam kain sutera, gunting, jarum dan benang serta perlengkapan dapur...."
Diam-diam Siu-lam menduga bahwa dara itu benar-benar hendak membawanya kesuatu tempat yang jauh dari masyarakat ramai.
"Perlu apa engkau membeli barang-barang itu?" tanyanya.
Hian-song menghela napas panjang, "Hendak kubuatkan banyak sekali pakaian untukmu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Iblis
FantasyWanita Iblis (Sip Siau Hong) bukanlah wanita yang jelek seperti hantu, bahkan adalah wanita yang sangat cantik. Jangankan laki-laki biasa, seorang tokoh agama yang sudah terlatih mengekang nafsu seks sekalipun tetap tidak mampu menahan kegoncangan h...