110. Imam Buta, Tabib Sakti

1.6K 38 0
                                    

Ban Thian-seng terpaksa ulurkan tangan mencekal rantai pengikat Siu-lam. Sekali kerahkan tenaga, tali rantai itupun putus berkeping keping. "Nah, sekarang bilanglah!" serunya.

Hui-ing geleng-geleng kepala, "Tidak jadi, sekarangpun tak dapat kukatakan!"

"Mengapa?" bentak Ban Thian-seng marah.

"Karena jika tadi, engkau hanya membunuh aku seorang. Tetapi jika sekarang, engkau tentu membunuh aku berdua dengan suhengku!"

"Engkau begitu pintar, apa Ih Ing Hoa yang mengajarkan kepadamu?" seru Ban Thian-Seng.

"Benar, kecuali dia, siapakah yang mampu memberi ajaran tentang cara menjaga hati orang yang gampang berobah itu?" sahut Hui-ing.

"Lalu bagaimana kehendakmu?" seru Ban Thian-seng.

"Antar aku keluar dari guha ini dulu, baru nanti kukatakan!"

"Baik," sahut Ban Thian-seng seraya menyambar tubuh Siu-lam terus dibawa loncat ke luar guha.

Hian-song tak mengira bahwa Hui-ing dengan mudah dapat menolong Siu-lam. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu ketika melihat Siu-lam dibawa keluar oleh Ban Thian seng. Darahnya tersirap dan seketika timbullah rasa gundah dalam hatinya. serentak ia menghunus pedang dan mengikuti dibelakang Hui-ing.

Dalam membawa tubuh Siu-lam. Ban Thian-seng hanya menggunakan sebelah tangannya dan dengan ringan sekali ia berlompatan seperti di tanah datar.

Sekalipun Hui-ing mengejar dengan sekuat tenaga, tapi tetap tak dapat menyusul.

Melihat ilmu meringankan tubuh dari Hui-ing itu tak dibawahnya, diam-diam Hian-song terkejut. Ia kuatir tak dapat menyusul. Cepat ia melambung keatas sebuah batu gunung lalu loncat turun kebawah, tepat dihadapan Hui-ing.

Hui-ing terpaksa berhenti. "Mau apa kau?"

"Ada beberapa hal yang hendak kutanyakan kepadamu?" jawab Hian-song.

"Apa?" kata Hui-ing seraya lanjutkan larinya agar jangan kehilangan jejak Ban Thian seng.

Terpaksa Hian-song mengikutinya. "Hendak engkau bawa kemanakah engkoh Siu-lam itu?" tanya Hian-song sambil berjalan.

"Entah, mungkin aku sendiripun tak dapat lolos," sahut Hui-ing.

"Apakah engkau sungguh-sungguh tahu di mana tempat si Tulang Kumala itu?" tanya Hian-song pula.

"Sudah tentu tahu," sahut Hui-ing.

"Ah, aku sendiripun dalam keadaan terdesak. Kalau tidak mengangkat guru kepadanya, Pui suheng tentu dibunuh!" kata Hian-song.

Hui-ing tertawa hambar, "Dia mati, bukan urusanku. Tetapi sekali berjumpa, tak sampai hati jika tak menolongnya!"

Dalam pada bercakap-cakap itu, keduanya telah tiba dikaki gunung. Disitu Ban Thian-seng sudah menunggu.

Hui-ing menatap Ban Thian-seng dengan pandang yang jernih, ujarnya, "Jika diam-diam engkau menutuk jalan darahnya...."

Ban Thian-seng cepat menyeletuk dengan marah, "Engkau anggap aku ini orang bagaimana? Masakan aku tak pegang janji. Jika sudah kululuskan membebaskan dia, tak nanti aku mencelakainya secara diam-diam!"

Hui-ing tersenyum, "Kawan sepermainan sejak kecil sampai berangkat dewasa, pun tak dapat dipercaya. Apalagi kita yang baru saja bertemu. Masakan begitu saja aku percaya penuh!"

Tiba-tiba Ban Thian-seng tertawa gelak-gelak, "Bagus, sekarang Tulang Kumala telah menghasilkan seorang murid yang benar-benar lain dari yang lain. Baiklah, akan kubuka jalan darahnya!"

Wanita IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang