Present

160 25 1
                                    

"Hey babe." Aku memeluk Barry erat saat aku baru sampai di apartemenku.

"Hey my beautiful princess," balasnya.

"I miss you," kataku ketika aku melepas pelukannya dan memasang wajah ceria.

"I miss you too, babe. You look so happy." Barry mencium ujung keningku dan mengajakku duduk di sofa. "Is it about Justin? Tell me."

"Ya, aku membentuk kembali hubungan pertemanan kami yang sempat merenggang." Aku sangat merasa bersalah dengan apa yang kami lakukan malam itu. Namun, aku tutupi saja rasa itu.

Barry hanya tersenyum dan mengelus rambutku pelan. Apakah dia tidak suka? Atau dia tahu aku berbohong?

"Bagaimana konsernya? Aku sampai mencari penampilanmu di Youtube."
Dia menunjukkan buktinya.

"Wow! Kau memang benar penggemar sejatiku." Kupeluk dia sangat erat dan tak lupa kecupan hangat yang mendarat di pipinya.

"I have something for you."

Barry beranjak dari sofa lalu berjalan kedalam kamar. Apa dia akan memberikanku sesuatu? Apa mungkin dia akan memberikanku cincin? Dia akan melamarku? Yang benar saja!

Dia keluar kamar dengan membawa sapu tangan. Dia memberikanku sebuah sapu tangan? Hanya itu? Kurasakan badanku yang sedikit melemas dan wajahku yang sudah pasti berubah total.

"Bukan ini hadiahnya, sayang." Barry langsung menutup mataku dengan sapu tangan yang dia bawa tadi. Mataku sepenuhnya tertutup dan aku tidak bisa melihat apapun.

"Stop kissing me," kataku sambil mencoba menjauhkan kepala Barry yang sepertinya berada didepan wajahku. "Aku tidak bisa melihat kau dimana sekarang."

Barry hanya tertawa lalu menggenggam tanganku. Sebenarnya aku sedikit kesal. Untuk apa dia menutup mataku? Memangnya aku mau dibawa kemana?

Terdengar langkah kaki yang berjalan dan Barry menarik tanganku pelan.

"I'm scared," bisikku pelan. Aku menggenggam erat telapak tangannya.

"Jangan takut," balasnya. Terdengar suara pintu lift yang terbuka dan Barry menuntunku masuk kedalam lift. Sepertinya.

Terdengar bunyi pintu lift yang terbuka lalu Barry mengajakku jalan kembali. Sepertinya kami akan meninggalkan apartemen. Aku tidak bisa melangkah leluasa karena aku tidak bisa melihat apapun. Aku takut terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Barry menuntunku untuk duduk di jok mobil. Ya, ini memang benar jok mobil. Aku bisa mencium wangi mobilnya yang khas.

Pintu pun ditutup dan Barry membawa mobil ini entah kemana.

"Are we gonna talk or ... okay. Let's keep each others mouth shut." Aku menjadi salah tingkah sendiri karena sedari tadi semenjak mobil berjalan, tidak ada yang berbicara.

Aku tidak mengajak dia bicara dan diapun tidak mengajakku berbicara juga. Apa dia marah padaku? Marah kenapa? Apa aku menyinggung perasaannya? Atau ... Ya Tuhan! Dia tahu kalau aku dan Justin melakukan sesuatu saat kami tur konser? Yang benar saja!?

Jadi ... dia sudah mengetahui semuanya tentang Justin mengajakku makan siang hanya berdua, lalu kami mabuk bersama dan berciuman? Matilah aku!

Jangan-jangan dia mau membawaku kejurang dan membunuhku disana? Apa dia akan membawaku ke gedung tinggi dan mendorongku agar jatuh kebawah? Apakah ini akhir cerita hidupku? Ya Tuhan, aku mohon agar Barry berubah pikiran dan tudak jadi membunuhku.

Semakin aku memikirkannya, aku semakin takut. Kurasakan tubuhku merinding. Kucoba gerakkan tanganku.

"What are you doing babe?" Tubuhku sedikit loncat saat terdengar suara Barry dikuping kiriku. Aku langsung mengembalikan posisi kedua tangakku di paha.

"Oh tidak. Aku hanya sedang mencari dimana letak AC. Aku sangat kedinginan." Setelah aku berbicara, hembusan angin AC yang semula tepat mengenai wajahku menjadi hilang. Syukurlah aku tidak kedinginan lagi.

Ngomong-ngomong, kenapa Barry memanggil aku sayang? Apa dia tidak marah? Apa ini taktik dia agar aku tidak curiga?

Pertanyaan yang sedari tadi singgah diotakku terjawab saat mobil berhenti. Lalu Barry menuntunku keluar mobil secara perlahan.

Justin, asal kau tahu, aku sangat mencintaimu dan kita tidak bisa bertemu lagi.

Kakiku melangkah pada sebuah anak tangga. Dengan arahan dari Barry, aku bisa menaiki anak tangga tersebut tanpa tersandung.

Ternyata benar, aku dibawa untuk menaiki sebuah gedung. Mungkin ini memang hari terakhir aku bertemu Justin.

Tiba-tiba kami berhenti. Suasana yang sangat hening dan sepertinya tidak ada satu orangpun berada didekatku kecuali Barry.

"You may open your eyes," ucapnya dari kejauhan. Apa aku sudah berada di tepi gedung dan siap untuk meloncat?

Dengan berat hati aku membuka sapu tangan yang sudah berjam-jam menutup pandanganku.

Aku menyerngit. Ini bukan di atas gedung. Ini disebuah ruangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

"Where are we, Bar? We're in somebody's home. Let's get out." Aku berjalan mendekati Barry dan memegang tangannya.

"It's our new apartement now."

Aku hanya terdiam lalu memandang seisi ruangan yang sudah lengkap dan siap huni.

"Tapi ... ini menggunakan semua uangmu dan seharusnya kita pakai uang bersama."

"I dont know whats gonna happen in the future. Well i know is right here right now i wanna spend every moment i can with you." Tangannya yang halus menyentuh pipiku. "Youre the first thing i wanna see when i wake up and ..."

Aku langsung menciumnya tanpa membiarkan dia menyelesaikan kalimatnya. Aku pun terhanyut dalam suasana ini.

*********

End of part 28!

Makasih udah baca dan jangan lupa vote dan komen yah.

I am Your Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang