A Little Chat

138 18 1
                                    

Hari ini tepat seminggu setelah Barry meninggalkanku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakannya.

Kuambil koper yang berada diatas lemari, lalu kumasukkan baju-bajuku dan barang-barangku ke dalam kotak.

Aku berencana untuk kembali ke apartemenku yang lama. Tidak ada alasan lagi untukku tinggal disini. Tidak ada lagi Barry yang menemaniku. Lebih baik aku tinggal ditempat lama dan aku bisa mengajak Justin kesana.

Mungkin ini saat dan yang tepat untuk melupakan Barry.

Aku tidak menghalangi air mataku yang ingin keluar saat melihat fotoku dan Barry disudut kanan kaca riasku. Kusimpan di dalam kotak.

Badanku kaku saat melihat di layar handphone Barry meneleponku. Aku sangat ragu untuk mengangkatnya.

"Hey." Suaranya membuatku merinding.

"Hi." Aku membalasnya dengan perasaan yang tidak enak.

"Are you at home? Your home?" Huh, ternyata benar, dia tidak menganggap ini rumahnya lagi.

"Yes i am," jawabku ragu. Ku rasa kami sudah berakhir ... jadi kenapa?

"Bagus. Karena aku ingin mengajakmu pergi dan aku sudah berada didepan pintu."

Kumatikan panggilan dan aku membuka pintu. Barry sudah berdiri dengan pakaian rapi. Dia tersenyum padaku. Kubalas senyumannya.

Aku mengunci pintu apartemenku lalu mengikutinya berjalan dari belakang.

Setelah sampai dimobilnya, kami pergi ketempat yang aku tidak tahu.

Selama diperjalanan, aku hanya melihat pemandangan dari kaca dan Barry hanya fokus menyetir.

Ingin sekali aku mengajaknya berbicara, namun kami akan bicara apa? Sepertinya tidak ada yang bisa kami obrolkan. Semuanya sudah habis lenyap karena kesalahanku.

-

Mobil ini terparkir di depan sebuah penjara.

"My dad wants to see you." Pertanyaanku terjawab sudah seolah-olah Barry bisa membaca pikiranku.

Aku turun dari mobil dan mengikuti Barry. Setelah kami masuk, kami diperiksa dan akhirnya kami berada didalam ruangan untuk bertemu dengan narapidana.

Tidak boleh ada kontak fisik dengan penghuni penjara. Jadi, ayah Barry dan kami terhalang oleh tembok kaca. Cara berhubungannya pun melalui telepon seperti telepon umum.

Aku duduk di kursi tunggu. Sedangkan Barry duduk di kursi yang berhadapan dengan ayahnya untuk berkomunikasi.

"Saar." Barry menyuruhku untuk mendekat dan aku langsung datang.

"She's Saara." Aku tersenyum pada ayahnya. "My friend."

Aku hanya bisa memberikan senyum palsu didepan mereka. Sebenarnya aku ingin menangis saja.

Barry berdiri dan mempersilahkanku duduk.

"I'll give you time to talk to my dad," katanya sambil menjauh dari kami.

Aku duduk dibangku dan kutaruh telepon itu di telingaku.

"Hi ... i'm Saara." Aku sangat gerogi sekali dihadapan ayah Barry. Karena ... dia ayah Barry.

"Ya, aku tahu. Barry sering bercerita tentangmu kalau dia kesini." Aku hanya bisa menyeringai menanggapi ayah Barry.

"Well my name is Henry. You may call me 'dad' if you want to." Aku sangat senang sekali dan aku mengangguk. "I'm so sorry about your family. Barry told me everything."

"Thank you," jawabku. Jadi begini rasanya berbicara 'lagi' dengan seorang ayah. Aku jadi ingat ayahku.

"Look ... i'm ... i'm sorry. I'm really sorry ab-"

"You don't have to say anything, Saara. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Tapi minta maaflah pada Barry. Dia kacau sekali saat datang seminggu yang lalu."

Kuhapus air mataku sambil tersenyum pada Henry.

"Kau tidak perlu mendengarkan kata orang lain. Dengarkan saja kata hatimu. I know ... i know you love that guy, right? Justin Bieber his name?" Aku mengangguk pelan. "Kau hanya perlu fokus pada dia, oke? Kau masih bisa berteman dengan Barry. Walaupun rasanya mustahil."

Aku dan Henry sama-sama tertawa. Perasaanku sudah lega sekarang.

"Aku akan mendukungmu, bagaimanapun. Aku mendukungmu dan Barry selalu. Walau kau hanya 'teman' anakku. Terima kasih kau sudah membuatnya bahagia selama beberapa waktu ini."

"I'm glad you really kind to me. Aku kira kau akan memarahiku bahkan membenciku."

"Bagaimana aku bisa membenci orang yang membuat anakku bahagia?" Henry langsung tertawa. Namun aku hanya tersenyum saja.

"Thank you, thank you so much, dad."

Aku melambaikan tangan padanya lalu menaruh gagang telepon ketempatnya dan menghampiri Barry. Aku tidak bisa banyak berkata maupun mengekspresikan hal kepada Barry selain tersenyum dan tersenyum.

* * * * *

End of part 42!

Jangan lupa vote dan komen yah! Terima kasih

I am Your Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang